Selasa, 13 November 2012

Catatan Sepuluh November


Oleh: Ali Syahbana

Sepuluh November bagi segenap rakyat Indonesia merupakan momen yang bersejarah. Sebab pada angka tersebut, tepatnya 10 November 1945, rakyat Indonesia ‘pontang-panting’ berjibaku mengorbankan keluarga dan nyawa demi mempertahankan  kemerdekaan Indonesia tercinta.

Adalah manuver dahsyat tentara Inggris, dengan sekitar 30000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perangnya, yang mengharuskan mereka kembali bersinggungan dengan ‘kawan lama’ bernama perang. Dan Alhamdulillah-nya, berkah rahmat Tuhan YME, melalui tekad dan kesatuan serta ikhtiar rakyat Indonesia, tanpa terkecuali santri-santri dibawah komando kyai-kyai kaliber KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya dan juga tokoh muda kaliber Bung Tomo, Surabaya pun selamat dari jajahan Inggris laknatullah ‘alaihim. Kemudian pejuang yang gugur pada momen tersebut, apapun latar belakang dan status sosialnya, mendapat ‘label’ Pahlawan.

Setelah itu, dengan penetapan Hari Pahlawan pada angka sepuluh tersebut, lambat laun term pahlawan menjadi ‘penyakit’ tahunan yang seakan selalu menarik untuk digali maknanya, di ‘pas-pasi’ esensinya dengan konteks kekinian, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, masih adakah pahlawan pasca generasi angkatan ‘Sepuluh November’ tersebut?

Kalau boleh ditarik benang merahnya, gelar pahlawan peristiwa 10 November lahir sebab rakyat ‘nekat’ mempertaruhkan nyawa, berani memperpendek nafas kehidupan, dan siap mati gasik, rela tulus ‘ngabdi’ tanpa pamrih demi satu tujuan mulia yaitu kesejahteraan bangsa Indonesia. Dari itu penulis pun setuju jika ada yang mengartikan pahlawan adalah seseorang yang berbakti kepada masyarakat, negara, bangsa dan atau umat manusia tanpa menyerah dalam mencapai cita-citanya yang mulia, sehingga rela berkorban demi tercapainya tujuan, dengan dilandasi oleh sikap tanpa pamrih pribadi. Bahkan jika definisi ini sudah menjadi ijma’ atau kesepakatan kolektif tentu sulit bagi kita untuk men-cap pahlawan terhadap siapapun.

Adapun pahlawan secara kamus bahasa kita ialah orang yang menonjol karna keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani. Maka orang yang berani membasmi virus korupsi secara kamus disebut pahlawan. Hakim yang tanpa pandang bulu membela kebenaran secara kamus juga disebut pahlawan. Pejabat yang gagah untuk tidak menindas rakyat lagi-lagi menurut kamus masuk kategori pahlawan.

Makna pahlawan jika boleh dipersempit lagi bisa berarti orang yang berjasa secara positif. Sehingga dari sini dipahami bahwa siapapun yang melakukan amaliah atau hal-hal positif masuk kategori pahlawan.  Kedua orang tua kita adalah pahlawan dengan jasa-jasa yang tak terkira. Kyai, ustadz atau guru juga pahlawan dengan ketulusan transfering anugrah ilmu yang diperolehnya. Yang ‘nyebrangi’ nenek-nenek di jalan raya, yang eksis menjaga kebersihan lingkungan, yang istiqamah menahan nafsu untuk ‘nguntit’ brangkas negara, dan sebagainya bisa dianggap pahlawan jika mengamalkan term makna sperti ini.

Namun, yang jauh lebih penting dan bahkan besar diharapkan dari semua teori tersebut adalah upaya tiap-tiap individu untuk mendongkrak jasa-jasa positif baik secara mikro maupun makro. Meneladani -sebagai manifestasi penghormatan dan penghargaan- amaliah hasanah pahlawan-pahlawan terdahulu. Dan bukan malah terkungkung dalam wacana kepahlawanan yang tak berujung. Wallahua’lam bisshawab.

* Tetouan, 12 November 2012.
* Pernah dimuat di: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40761-lang,id-c,kolom-t,Catatan+Sepuluh+November-.phpx
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Kamis, 08 November 2012

Lunturnya 'Maqasidu ad Da'wah'


Bebarapa waktu yang lalu penulis mendapati salah satu teman mengirimkan info di laman facebook. Isinya menarik, yaitu perihal penyelewengan pemahaman oleh seorang bernama Mahrus Ali.

Singkatnya, sosok yang karya-karya 'gendheng' nya oleh golongan islam radikal diberi embel-embel  "Mantan Kyai NU" itu telah mendiskreditkan citra Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia, dengan fitnahnya. Bahkan bahkan bisa mengancam eksistensi Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menganut ideologi Pancasila dan berasaskan Undang-undang Dasar 1945.

Salah satu 'adegan' konyol dari sosok yang sebenarnya bukan mantan kiai NU, apalagi pernah menjadi anggota atau menjabat di NU adalah adanya aksi 'nyunati' atau memotong pemahaman yang ada dalam kitab I'anatuth Thalibin, kitab Fiqh karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i, yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in.

Disini penulis tidak ingin memperpanjang cerita. Bagi penulis meskipun fenomena tersebut sudah 'basi' bertauhun-tahun, namun tetap saja menarik untuk diperhatikan. Terlebih hingga kini masih banyak -bahkan menjamur- fenomena serupa yang membuat 'risih' ketentraman bangsa.

Dan kalau mengatasnamakan dakwah, sejatinya menurut hemat penulis tindakan tersebut jauh dari 'Maqasidu ad Da'wah' atau esensi dari dakwah yaitu mengajak manusia untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala.

'Maqasidu ad Da'wah' atau cita-cita mulia dari kegiatan dakwah ini bisa teraih apabila kaedah dasar (minimal) 'bil hikmah wal mau'idzah al hasanah' teraplikasikan dengan baik. Bil-hikmah bisa berarti upaya 'ngajak' dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya dan dengan cara yang mudah dan bijaksana. Atau dengan perkataan yang jelas dan tegas disertai dengan dalil yang dapat mempertegas kebenaran, dan dapat menghilangkan keragu-raguan.

Sedang al mau'idzah al hasanah bisa berwujud nasihat, bimbingan, pendidikan atau pelajaran yang baik. Artinya dalam ber- mau'idzah  hasanah harus dengan kelembutan; tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan. Sebab, kelemahlembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar.

Resep ber-mau'idzah hasanah dengan kelembutan telah sukses dicontohkan nabi teladan kita, Muhammad saw., sebagaimana Al Qur'an menegaskan; "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu". (Ali Imran: 159).

Maka -lagi-lagi- jika ada model-model penyebar ajaran islam dengan cara sebagaimana gambaran diatas tentu jauh dari kata selaras dengan 'Maqasidu ad Da'wah'. Sebab, rumusan dasar yang sudah ditetapkan dalam Al Qur'an atau 'laku' kanjeng Nabi saw. yang pernah dicontohkan tidak tercermin sama sekali dalam tindakan tersebut diatas. Wallahua'lam bisshawab.

* Kenitra, 9 Nopember 2012
silakan lihat juga: http://agama.kompasiana.com/2010/12/16/membongkar-kebohongan-h-mahrus-ali-dan-rekayasa-busuk-wahabi/ 
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Jumat, 02 November 2012

Potret Menarik Cafe di Maroko


Secara mendasar, Cafe atau dalam 'lidah' Indonesia bisa diucap kafe biasanya diartikan tempat untuk menikmati secangkir minuman, kopi, teh, jus, dll. Kafe juga terkadang merupakan sumber inspirasi atau  tempat transaksi bisnis dan lobi-lobi.

Namun bagi kebanyakan orang di Indonesia, konotasi kafe identik dengan hal-hal yang berbau hura-hura, tempat hiburan kelas atas dengan sajian live music-nya atau tempat 'nongkrong' bagi kelas menengah ke atas. Sehingga bagi kalangan biasa-biasa saja, kafe seolah merupakan kawasan yang 'angker' untuk dijamah.

Kalau kita pernah mencicipi (meski melalui info-info dan liputan video) alam per-kafean beberapa negara Arab semisal Maroko, Tunis, Mesir dan lainnya,  boleh jadi akan lahir sebuah kesimpulan bahwa kafe di negara tersebut tak bedanya dengan warung-warung kopi (WarKop) dalam artian mampu dinikmati segala lapisan masyarakat.

Hal seperti itu juga terjadi di Maroko. Kafe di negara ini hampir menyentuh diberbagai daerah. Baik di jantung kota maupun pinggiran-pinggirannya. Baik ditempat obyek-obyek wisata ataupun tempat-tempat biasa. Bahkan banyak juga kafe yang berderet dipinggir-pinggir jalan hingga lebih dari satu kilo panjang barisannya.

Kafe di Maroko, selain mungkin setingan tempatnya tidak kalah menarik dengan kafe-kafe di Indonesia, sering difungsikan oleh masyarakatnya untuk 'nyantai' dan refresh. Kafe sering juga dibuat sebagai ajang transaksi bisnis, tempat belajar secara kelompok, bahkan sebagai sumber pencari referensi dengan fasilitas wifinya.

Yang menarik dan mungkin bikin 'ngangeni', kafe di Maroko selalu ramai jika ada pertandingan-pertandingan sepakbola. Dengan layar televise yang lebar, ditambah sound yang 'nangkring' disetiap sudutnya menjadikan masyarakat yang kebanyakan pecinta sepakbola betah menikmati jalannya pertandingan dengan 'cuma' modal secangkir kopi atau teh.

Terlebih jika ada partai-partai besar seperti 'el clasicco' (Madrid vs Barca), 'Derby Milano' (Inter vs Milan) atau partai-partai yang masuk babak knock out (system gugur) sampai final. Kafe menjadi penuh dan gemuruh. Nuansa kebersamaan seakan menenggelamkan kepenatan hidup yang kadang sumpek. Yel-yel sesekali hadir seolah menikmati pertandingan langsung di stadion aslinya.

Kafe di Maroko pada akhirnya bisa menjadi ajang 'kongkow' dengan bermacam motif dan kebutuhannya. Bisa sebagai wahana refreshing dengan pertandingan-pertandingan sepakbolanya bagi pecinta sepakbola. Bagi Pelajar bisa dijadikan ajang belajar bareng bahkan diskusi. Bisa juga untuk berbisnis bagi pebisnis. Untuk rapat bagi kalangan organisatoris, dan lain sebagainya dan lain seterusnya. Dengan tarif yang terjangkau bahkan murah, Kafe bagaimana kita memanfaatkan dan menikmatinya.

* Kenitra, 2 Nopember 2012
* Pernah dimuat di 
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,45-id,40608-lang,id-c,internasional-t,Warkop+di+Indonesia++Caf%C3%A9+di+Maroko-.phpx
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Selasa, 23 Oktober 2012

Aku, Kau dan Kalian


Aku, kau dan kalian
Aku manusia
Kau manusia
Kalian pun manusia

Aku, kau dan kalian
Aku bagamana tentang kau
Kau bagaimana tentang aku
Kalian bagaimana tentang kau akan aku atau aku akan kau

Aku, kau dan kalian
Aku kadang kau suka pun kau cela
Kau kadang ku puja pun ku hina
Kalian kadang kau dan aku ditengah keduanya

Aku, kau dan kalian
Banyak perbedaan
Kaya penafsiran
Miskin pengertian

Aku, kau dan kalian
Ku harap tetap dalam keseimbangan

Griya kenitra, 04 maret 2012, 00.29 wkt maroko

* Pernah dimuat di 'Buku Simfoni Goresan Negeri 1000 Benteng' PPI Maroko 2012
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Apa Kabar Warga Indonesia


Apa kabar warga indonesia
Ku dengar kita bersaudara
Saling toleran antar sesama
Tapi untuk rukun saja kadang belum bisa

Apa kabar warga indonesia
Dengan bhineka tunggal ikanya
Dengan rumusan pancasilanya
Sampai-sampai tak paham cara pengamalannya

Apa kabar warga indonesia
Seperti apakah demokrasi
Hingga kita tak saling mengerti
Sesuka hati asyik menghukumi

Apa kabar warga indonesia
Masih adakah getaran cinta
Agar kita tak tikam sesama
Hanya karna kepentingan semata

Apa kabar warga indonesia

* Pernah dimuat di 'Buku Simfoni Goresan Negeri 1000 Benteng' PPI Maroko 2012
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Senin, 22 Oktober 2012

Bulan Dzulhijah


Oleh: Ali syahbana

Bulan Dzulhijah merupakan bagian dari asyhurul fadilah (bulan-bulan keutamaan) dan asyhurul haram (bulan-bulan mulia). Dalam bulan ini banyak dari hamba-hamba Allah -yang diberi kemampuan- melakukan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji, menyempurnakan rukun islam yang kelima, dan yang tidak kalah penting ta’abbudan lillah yaitu beribadah (berhaji) semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang (riya’), bukan disebabkan agal gelar haji melekat dinamanya dan bukan karena motif-motif lainnya.

Selain kewajiban berhaji menuju baitullah, dalam bulan ini dianjurkan juga bagi segenap umat islam untuk melakukan ibadah puasa. Baik puasa yang dilakukan mulai tanggal 1 Dzulhijah ataupun berpuasa hanya tanggal 9 Dzulhijah (satu hari sebelum ‘idul adha) yang terkenal dengan sebutan hari arafah.

Keutamaan Berpuasa di Bulan Dzulhijah

Dalam Riwayat Imam Muslim, salah satu periwayat yang bersama Imam Bukhari diakui keshahihan riwayatnya oleh para ulama, dari Abu Qatadah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. ditanya perihal berpuasa pada hari Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Beliau saw. lalu bersabda: "Puasa pada hari itu dapat menutupi dosa pada tahun yang lampau serta tahun yang akan datang." (lihat: Riyadus shalihin, Kitab al Fadhail)

Dilain tempat Imam Bukhari meriwayatkan tentang keutamaan bulan Dzulhijah, dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada hari-hari yang mengerjakan amalan shalih pada hari-hari itu yang lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yakni sepuluh hari pertama Dzulhijah. Para sahabat berkata: "Ya Rasulullah, apakah juga tidak lebih dicintai oleh Allah meskipun jihad fi-sabilillah? Rasulullah saw. menjawab: "Meskipun berjihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar dengan dirinya dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan membawa sesuatu apa pun dari yang tersebut - yakni setelah berjihad lalu mati syahid. (lihat juga: Riyadus shalihin, Kitab al Fadhail).

Dan juga sabda Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah r.a.:

“Tidak ada hari-hari yang didalamnya  melakukan amalan shalih yang lebih utama dan dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Jika berpuasa satu hari pada hari tersebut maka sama seperti berpuasa satu tahun. Jika ber-qiyamul lail (shalat malam) pada hari tersebut maka sama seperti ber-qiyamul lail pada lailatul qadar”.(HR. Tirmidzi dan Ibnu majah).

Segelintir riwayat diatas merupakan isyarat bahwa sepuluh hari di bulan Dzulhijah memiliki banyak keutamaan. Bagi mereka umat islam yang melakukan amalan sholeh di sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijah, maka pahalanya lebih utama dari dari pada berjihad di jalan Allah saw..

Disamping itu, Berpuasa juga merupakan hal yang sangat dianjurkan pada bulan tersebut. Terlebih perupamaan yang mengatakan bahwa satu hari berpuasa pahalanya sama dengan berpuasa satu tahun. Serta berpuasa pada hari arafah bisa melebur dosa tahun yang telah lalu dan yang akan datang.

Imam Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari, penjelas dari kitab Sahih Imam Bukhari,  mengatakan bahwa  sebab diistimewakannya sepuluh hari Dzulhijah adalah karena pada hari tersebut merupakan waktu berkumpulnya ibadah-ibadah pokok yaitu shalat, puasa, sedekah dan haji, dan hal itu tidak didapatkan pada hari-hari lain.“

Akhirnya, marilah kita manfaatkan kesempatan bulan Dzulhijah ini dengan meningkatkan amalan-amalan saleh. Dan jika kita tengok lebih jauh tentang keutamaan dibulan ini, bukan hanya amalan puasa saja yang dianjurkan dan disebutkan secara gamblang. Akan tetapi memperbanyak melakukan sholat (baik wajib maupun sunnah), banyak berzikir kepada Allah (tahlil, takbir, tahmid, atau bentuk dzikir lainnya), bersedekah, berqurban (menyembelih binatang) dan lain sebagainya pun merupakan hal yang dianjurkan untuk diamalkan.

Dari Ibnu Umar radliyallah ‘anhuma berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada hari-hari yang lebih besar di sisi Allah swt. dan tidak ada amal perbuatan yang lebih dicintai-Nya selain pada sepuluh hari itu. Maka perbanyaklah pada hari-hari tersebut Tahlil, Takbir dan Tahmid.“ (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir). Wallahua’lam bisshawab.

     
* Tulisan ini pernah dimuat di buletin 'Sayyidul Ayyam' PPI Maroko, 03 November 2010 M/25 Zulqa’dah 1431 H..
* Pernah dimuat juga di http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40417-lang,id-c,kolom-t,Bulan+Dzulhijah-.phpx


»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Minggu, 07 Oktober 2012

Pancasila dan Keluwesan Ajaran Islam


Oleh: Ali Syahbana


'Demam' Pancasila biasanya muncul saat meomen-momen seperti; Hari Lahir Pancasila, Hari Kesaktian Pancasila atau pelbagai seminar yang benuansa kebangsaan. Kalau mau dihitung, mungkin sudah ratusan -bahkan lebih- tulisan atau artikel yang berkeliaran membahas Pancasila baik yang bersinggungan dengan sisi sosial, agama dan lain sebagainya. Nah, tulisan ini pun, meski sekedar estafet dari kebanyakan artikel yang beredar, tak pelak 'ikut-ikutan' mencoba meng-ketengahkan Pancasila versi ke-penulisan dan gaya penyampaian penulis sendiri.

Seperti kita ketahui, Pancasila sebagaimana ditetapkan dan tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Ia merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia yang seolah merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.

Namum menjadi ironis saat belakangan ini banyak bermunculan oknum-oknum atau gerakan-gerakan yang kembali berusaha menjungkalkan Pancasila dan meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Mereka berjuang untuk merubah tatanan negara menjadi Khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya. Salah satu alasan mereka adalah pandangan dan keyakinan bahwa Islam bukah hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia.

Lantas, apakah Pancasila sendiri tidak mencerminkan nilai-nilai islam?? Sehingga -menurut mereka- perlu dikubur dan dilenyapkan dari permukaan Indonesia.

Jika kita perhatikan sejarah, Pancasila tidak hanya dirumuskan oleh pemimpin nasional. Namun ada juga tokoh-tokoh bangsa yang berstatus ulama yang urun rembug dalam perumusannya termasuk yang dari kalangan Nahdlatul Ulama kaliber KH. Wahid Hasyim dan kalangan lainnya semisal Muhammadiyah.

Dengan keberadaan ulama-ulama tersebut tentu berdampak pada wujud rumusan Pancasila yang islami, pancasila yang secara praktis menampilkan ke-rahmatan lil'alamin ajaran islam. Bukan Pancasila yang sepi dari nilai-nilai keislaman.

Selain itu, Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Pancasila telah mampu  menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia. Keselarasan pancasila dengan ajaran islam bisa dibuktikan denga klop-nya sila-sila Pancasila dengan apa yang telah tergaris dalam al-Qur’an.

Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa misalkan, secara luas mencerminkan nilai ketauhidan dan kebebasan dalam berkeyakinan. Warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh negara.

Dalam Islam, Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan. Semisal QS. Al-Baqarah ayat 163 yang memiliki arti; "Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa . Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Murah, lagi Maha Penyayang".

Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata, tidak ada tuhan selain Dia. Akan tetapi jika ada keyakinan yang menyatakan Tuhan mereka bukanlah Tuhan sebagaimana yang diyakini umat islam, maka ajaran islam tidak menentang keyakinan tersebut sebab tidak ada paksaan bagi mereka untuk beragama islam. Hal ini tentu sesuai dengan rumusan universal Al Qur'an yang berbunyi; “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 256).

Mayoritas kitab tafsir Al Qur'an menyebutkan akan adanya suatu riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, yaitu seorang lelaki bernama Abu Al-Husain dari keluarga Bani Salim, Ibnu Auf, mempunyai dua orang anak lelaki yang telah memeluk agama Nasrani sebelum Nabi Muhammad saw. diutus Tuhan sebagai nabi. Kemudian kedua anak itu datang ke Madinah (setelah datangnya agama Islam), maka ayah mereka selalu meminta agar mereka masuk agama Islam dan ia berkata kepada mereka, “Saya tidak akan membiarkan kamu berdua, hingga kamu masuk Islam.” Mereka lalu mengadukan perkaranva itu kepada Rasulullah saw. dan ayah mereka berkata, “Apakah sebagian dari tubuhku akan masuk neraka?” Maka turunlah ayat ini, lalu ayah mereka membiarkan mereka itu tetap dalam agama semula.

Sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bisa bermakna bahwa melalui misi bangunan karakter keadilan dan keberadaban manusia, bangsa Indonesia telah meletakan penghargaan dan penghormatan hak-hak yang melekat pada tiap-tiap pribadi manusia.

Al Qur'an sendiri dengan ayat-ayatnya yang bersifat universal, mencakup segala aspek tanpa kenal zaman wal makan, relevan sampai kapanpun dan dimanapun, telah banyak mengajarkan umatnya untuk bersikap adil, berakhlak mulia, saling menghormati dan menghargai antar sesama. Hal ini salah satunya tercermin dalam surat Al Maidah ayat 8 yang memiliki maknai; "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Sila ketiga berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bermisikan menyatukan seluruh elemen di Indonesia, bangsa yang satu dan bangsa yang menegara. Dan telah ma'lum dalam konsep Islam akan wujud ajaran untuk selalu menjaga persatuan. Baik persatuan antar umat islam sendiri dengan bingkai "mu'min ikhwah" nya maupun dengan non-islam dalam bingkai kemanusiaannya. (baca missal: QS. Ali Imran: 103 dan QS. Al-Hujuraat: 10).


Begitu juga dengan sila ke empat yang mengedepankan asas musyawarah dengan didasari hikmat kebijaksanaan, pun selaras dengan tatanan islam yang mengajarkan untuk bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan bermusyawarah dalam suasana yang demokratis. Dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah menegaskan yang maknanya; "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."

Cerminan nilai-nilai keislaman juga melekat pada sila kelima yang menekankan adanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam islam teramat banyak konsep-konsep yang bermuatan keadilan. Baik adil terhadap diri sendiri, adil terhadap orang lain, kepada alam ataupun lingkungan. Misi besar islam yang menyejahterahkan umatnya baik di dunia maupun di akherat tentu belum bisa optimal tanpa diterapkannya nilai-nilai keadilan. Inilah yang menjadikan islam memerintahkan umatnya untuk berlaku adil dalam segala hal. (lihat QS. an-Nahl ayat 90).

Walhasil, Pancasila merupakan bangunan dasar atau ideologi negara yang sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Islam yang luwes dengan rumusan-rumasan globalnya, dengan sifat rahmat bagi penghuni alamnya (rahmatan lil 'alamin) membuat Pancasila bisa 'nyempil' di dalamnya. Dengan begitu, patutlah kita sebagai bagian dari warga negara Indonesia senantiasa berusaha melestarikan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga dengan hal tersebut kita menjadi manuisa yang secara tidak langsung mengamalkan nilai-nilai universal ajaran islam. Menjadi umat yang berislam secara praktis, bukan sekedar teoritis atau secara teori belaka. Wallahua'lam bis shawab.

* Kenitra, 5 Oktober 2012
* Pernah dimuat di http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40159-lang,id-c,kolom-t,Pancasila+dan+Keluwesan+Ajaran+Islam-.phpx
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Rabu, 26 September 2012

Legowo Dengan Kompleksitas Indonesia


Oleh: Ali Syahbana

Entah seperti gatel atawa greget, rasanya kurang nikmat kalau gendhu-gendu rasa (obrolan) dengan -sebut saja- ustadz Sidi* Sa'id as Seggaf yang penulis alami dengan beberapa teman semalam (25/09/2012) tidak "digaruk" hingga menjadi sebuah catatan yang manfaat atau tidaknya menjadi urusan-Nya. Yah urusan-Nya, sebagaimana hak memberi hidayah bukan urusan seorang Muhammad tapi mutlak hak perogratif-Nya. Ibaratnya meskipun jungkir balik, pontang panting, ngotot-ngotot apalagi sampai maksa-maksa untuk ber-islam ala "dia", kalau Dia tidak "kun" maka "fayakun" pun belum bisa nyusul. Atau meminjam redaksi Qur'annya kurang lebih secara bebas seperti ini, "udah lah, kamu khotbah khotbah aja, kalau mau ceramah ya ceramah aja, nulis nulis aja, dapet hidayah apa engga bukan urusan dan hakmu tapi itu mutlak urusan, bagian dan hak-Ku."

Sebelum masuk lebih dalam, ada baiknya kalau penulis kenalkan lebih dulu sosok Sa'id as Seggaf. Dia bukanlah salah satu ulama besar Maroko dan bukan juga keturunan seorang raja. Dia hanya warga biasa Maroko yang kebetulan iseng penulis jadikan "korban" dalam tulisan ini. Dia -seperti ceritanya- pernah mengenyam pendidikan SMA sampai S1 di Damaskus, Syiria. Lalu hijrah untuk S2 di Cairo, Mesir sebelum akhirnya melanjutkan S3 di Tetouan, Maroko, tempat kelahirannya sendiri. Dan mungkin yang lebih menarik, dia memiliki istri warga negara Indonesia asli Jawa Barat, salah satu hasil saat dia belajar di Cairo, Mesir.

Sidi Sa'id (bersama istri dan anaknya) malam itu kebetulan mampir disela-sela perjalanannya menghadiri Resepsi Diplomatik HUT RI tahun ini di Wisma Duta, Rabat. Setelah beberapa menit diawali mujamalah (obrolan 'basa basi' untuk perkenalan dll), dalam obrolan semalam beliau banyak memaparkan kekagumannya terhadap bangsa Indonesia. Hanya saja ketika bla bla bla menceritakan indahnya Indonesia dan saat obrolan mulai memanas, beliau menyayangkan keadaan ormas-ormas islam yang  suka "ribet" ngurusi hal-hal yang furu'iyyah (permasalahan-permasalahan kecil yang kurang mendasar). Masalah-masalah seperti shalat qunutan atau tidak, selesai shalat salaman atau tidak, dan lain sebagainya baginya agar dibiarkan menjadi laku (amaliah) tiap-tiap individu, yang penting tidak menyalahi konstitusi (ketetapan) syariat islam.

Justru -menurutnya- yang lebih penting adalah bagaimana ormas-ormas seperti NU, Muhamadiyah, Persis dan lainnya bersatu (berkerja sama), ikut andil gotong royong bagaimana membangun bangsa Indonesia dari berbagai sektor. Sebab kalau hanya bagaimana menjadikan NU atau Muhammadiya atau Persis semua rakyat Indonesia adalah merupakan hal yang mustahil, bahkan menyalahi sunatullah (ketetapan Allah). Bukankah Allah sendiri telah menciptakan semuanya dengan bermacam perbedaaan?? Agar dengan perbedaan tersebut bisa saling mengenal, co-operatif, bekerjasama atau saling bantu-membantu satu sama lain. Dan bukankah Allah Yang Maha Kuasa dalam menyatukan, meng-islamkan, menyelaraskan umat manusia tidak menghendaki untuk tidak berbeda-beda??

Yang lebih ironis lanjutnya, saat beliau bergaul dengan berbagai komunitas Indonesia di Mesir seolah ada pendidikan ta'assubiyah (fanatisme) yang "dikunyah" secara tidak langsung oleh mahasiswa Indonesia disana. Yang dari ormas A melulu berusaha meng-A-kan sesuatu dalam segala hal, baik materi maupun non-materi. Yang dari kelompok B juga begitu, yang dari partai C juga begitu dan seterusnya dan lain sebagainya.

Setelah semakin lebar obrolan, penulis yang tau beliau dari tetouan pun iseng menanyakan satu hal yang penulis sendiri kesengsem untuk mengorek informasi lebih jauh akan pertanyaan tersebut. Dengan mantep penulis bertanya, "Saya dapat info kalo antara kota tetouan dan chefchouen ada daerah bernama Jabal el 'Allam, disitu ada pesarehan Simbah Kyai Abdussalam ibn Basyisy, guru dari Simbah Kyai Abu Hasan as Syadzili al Misri?" Beliau menjawab, "Betul. tapi jalan untuk kesana bengkak bengkok sebab berada di perbukitan."

Dengan semangat beliau melanjutkan jawabannya, "Tapi yang saya sayangkan ialah banyak orang jadi "salah kaprah". Saya setuju untuk memuliakan ulama, menziarahinya dan mengenali lebih dekat bagaimana kiprah dan teladannya. Tapi kebanyakan orang awam menjadikan mereka sosok yang suci, meminta atau memohon pada mereka (ulama yang telah wafat) saat berziarah. Ini yang "salah kaprah" dan perlu kita luruskan. Dan hal ini juga banyak terjadi, tidak hanya di Maroko, tapi juga di Indonesia saat saya berziarah ke sana kemari."

Sebetulnya antara setuju dan tidak setuju dengan ulasan beliau, penulis hanya coba menggaris bawahi bahwa Indonesia yang kompleks dan majemuk tentu butuh aksi semua pihak untuk menjadikannya indah dan menawan. Tidak hanya sama-sama membangun, tapi juga sama-sama menahan. Menahan untuk tidak menindas. Menahan untuk tidak meng-kebiri titipan rakyat. Menahan untuk tidak korup, saling sikut, dan lain sebagainya dan lain sebagainya.

Chukron bizzaff sidi sa'id. Hakadza -'alal aqal- Indunisy dyalna. (Terima kasih banyak Tuan Said. Seperi inilah -sedikitnya- Indonesia kami). Wallahua'lam.

Kenitra, 26 September 2012

*sidi
adalah ungkapan lokal orang maroko yang berarti tuan atau "pak".
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Minggu, 23 September 2012

"Si Khusus" Yang Tak Terurus


Oleh: Ali Syahbana

Menurut pemahaman kebanyakan orang, kata "khusus" identik dengan hal-hal yang diluar kebiasaan atau kelumrahan. "khusus" bisa juga berarti sesuatu yang diistimewakan, disakralkan, di-menjadi pentingkan. Boleh juga dikatakan "khusus" adalah pembeda antar satu dengan lainnya. Seperti contoh "meja makan ini khusus pejabat", maka jelas bahwa orang yang tidak berlabel pejabat tidak berhak menempati meja tersebut. Meja yang awalnya biasa menjadi istimewa ketika di istimewakan, menjadi sakral saat disakralkan.

Dalam praktek ibadah haji, ada jamaah yang berlabel reguler, yaitu jamaah biasa yang tergabung dalam kloter-kloter dari berbagai penjuru Indonesia. Jamaah yang untuk mertamu ke tanah suci harus nyicil bayar ONH (Ongkos Naik Haji)nya dan setia antri sampai lebih dari lima tahun lamanya. Ada juga jamaah haji berstempel khusus yang bisa sowan ke baitullah seketika waktu tanpa harus menunggu bertahun-tahun seperti jamaah reguler (tidak khusus).

Umumya, jamaah haji "khusus" mendapat perlakuan yang khusus dan istimewa saat di tanah suci. Saat tiba di bandara Arab Saudi saja sudah disambut tim yang memang khusus menjadi pengurus mereka. Tempat tinggal mereka dihotel berkelas yang sangat dekat dengan masjidil haram dan nabawi. Saat wuquf di Arafah (begitu juga mabit di Mina) tenda istirahat mereka minimal nyrempet-nyrempet dengan kondisi tenda pejabat negara. Jika tenda para pejabat bermuatan kasur empuk, bantal dan ruang tamu kecil-kecilan, maka mereka yang berlabel haji "khusus" hanya tidak memiliki ruang tamu saja dalam tendanya. Berbeda dengan haji biasa yang hanya berisi gelaran karpet sederhana yang menempel diatas tanah yang kadang juga tidak rata sebab batu atau kerikil yang mengganjalnya.

Akan tetapi, gambaran diatas menjadi ironis saat penulis mendapatkan kesempatan kali kedua menjadi petugas Panitia Pelaksana Ibadah Haji (PPIH) tahun 2011. Penulis yang kebagian tugas sebagai Pengawas Ibadah Haji Khusus (PIHK) Daerah Kerja (Daker) Jeddah sering mendapati perlakuan yang tidak khusus -bahkan sangat memprihatinkan- yang didapati jamaah haji berlabel "khusus". Ada dari mereka yang harus terlantar berjam-jam bahkan berhari-hari di bandara sebab ketidakjelasan atau ketidak-bertanggung jawaban tim pengurusnya. Sampai tidak jarang jamaah yang saking kecewa dan sakit hatinya berucap, "kalo tau begini turunan saya tidak akan saya hajikan lewan travel haji khusus!!".

Yang sepertinya menarik dan lebih parah lagi, masih ada saja travel-travel "gaib" yaitu travel non-kuota atau yang tidak terdaftar resmi di Depag, tidak mendapat nomor porsi Haji, serta tidak mendapatkan DAPIH (Dokumen Administrasi Perjalanan Ibadah Haji). Travel seperti ini biasanya hanya memikirkan keuntungan materi semata, tanpa mempedulikan nasib jamaah haji kedepannya yang juga sama-sama berbendera Indonesia. Penulis sendiri tidak paham mengapa travel-travel model tersebut bisa lolos hingga sampai Arab Saudi. Entah apakah ada oknum-oknum dagelan yang bermain dibelakang mereka??.

Dengan iming-iming menggiurkan menjadi haji "khusus", jamaah yang awalnya ingin nyaman dan cepat melaksanakan ibadah haji malah harus pontang-panting memikirkan nasib mereka baik saat, selama hingga kepulangan dari tanah suci. Seolah ke"khusus"an mereka menjadi tidak lebih istimewa dari jamaah biasa (reguler) yang -menurut penulis- lebih terjamin pelayanannya.

Bagaimana tidak terjamin, lha wong baru keluar gate (pintu keluar dan masuk) bandara saja mereka sudah dilayani dengan baik oleh para petugas. Petugas urusan koper merapikan dan mengamankan koper mereka. Petugas urusan per-dokumen-an mengurus dokumen-dokumen mereka (paspor, dll). Petugas transportasi menyiapkan transportasi mereka kapanpun, dimanapun dan kemanapun mereka bergerak. Petugas dipemondokan menyambut dan melayani mereka. Yang bingung ditunjukkan, yang tersesat diantarkan, dlsb, dlsb.

Dan lagi-lagi berbeda dengan yang "khusus", terlebih dari travel non-kouta, dengan pengurus "khusus" yang sedikit dan terbatas menjadikan mereka yang berlabel jamaah haji khusus harus cerdas dan kreatif sendiri saat pergi-pergi agar jangan sampai tersesat. Sebab jika tidak demikian, menjadi fatal bagi mereka saat tersesat. Petugas PPIH pun sulit mengenali identitas (nama travel, pemondokan, ketua rombongan, dll) mereka sehingga harus berhari-hari untuk sekedar mengembalikan mereka ke tempat (pemondokan) semula. Hal seperti ini pernah penulis rasakan saat mendapat kesempatan menjadi petugas PPIH bagian Informasi dan Penerangan di Mabes (Markas Besar) Daker Mekkah tahun 2009 silam.

Pada akhirnya, menurut hemat penulis bagi mereka yang awam akan kondisi per-hajian Indonesia sepertinya lebih baik berhaji secara reguler meski harus setia menunggu beberapa tahun lamanya. Minimal kalau tidak sampai umur, niatan tulus untuk sowan dan menyempurnakan rukun islam sudah bisa menjadi cacatan amal baik bagi mereka. Timbang harus ngoyo ingin cepat-cepat berhaji dengan melalui jalur "khusus" namun malah tidak teruurus.

Dan hemat penulis juga, berhaji khusus lebih pas bagi mereka yang memang siap baik secara pemahaman, pengetahuan maupun pengalaman terbang. Atau bagi mereka yang melalui travel haji khusus yang memang terpercaya, teruji dan bertanggung jawab. Berhaji khusus bahkan bisa menjadi tidak lebih baik, pas dan etis jika motif (niatan) berhajinya malah melenceng dari semestinya. Adakah yang modelnya seperti itu?? Wallahua'lam bis shawab.

*Griya Kenitra, 23 September 2012
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Kamis, 09 Agustus 2012

Sakralitas "Lailatul Qadar"


Oleh: Ali Syahbana

Saat bulan suci Ramadhan tiba, termasuk hal yang paling laris dijadikan bahan pembicaraan adalah tentang "Lailatul Qadar". Baik media cetak maupun elektronik, entah oleh para penceramah atau ustadz yang professional maupun amatiran, ditiap-tiap mushalla atau masjid, ataupun dalam kajian diskusi keagamaan melulu menempatkan Lailatul Qadar menjadi bahasan menarik untuk diketengahkan, untuk disampaikan dan yang lebih penting untuk diamalkan tentunya.

Lailatul Qadar atau dalam kebahasaan kita berarti malam ketetapan adalah momen dimana Al Qaadir (Allah swt yang maha menetapkan) menetapkan perjalanan hidup manusia dalam jenjang satu tahun kedepan (baca: QS. Ad Dukhan ayat 3-5). Dikatakan juga bahwa siapa saja manusia yang melakukan amalan positif dalam malam tersebut maka pahala dan ganjarannya lebih baik daripada ia beramal 1.000 bulan, setara 83 tahun 4 bulan.

Lailatul Qadar kalau boleh dikata merupakan malam yang kramat dan sangat istimewa. Bahkan ada dari ulama yang melakukan teka teki dalam menentukan malam tersebut. Mereka berpendapat jika awal Ramadhan hari Ahad dan Rabu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 29 ramadhan. Jika hari Senin maka malam 21 Ramadhan adalah Lailatul Qadar-nya. Jika hari Selasa atau Jum'at maka malam 27 Ramadhan. Jika hari Kamis maka malam 25 Ramadhan. Jika hari Sabtu maka Lailatul Qadar-nya malam 23 Ramadhan.

Saking sakralnya sepertinya, ada juga yang mengatakan, "jika awal puasa hari Jum'at maka Lailatul Qadar jatuh dimalam 29 Ramadhan. Jika awal puasa hari Sabtu maka malam 21 Ramadhan. Jika hari Ahad maka malam 27 Ramadhan. Jika hari Senin maka malam 19 Ramadhan. Jika hari Selasa maka malam 25 Ramadhan.. Jika hari Rabu maka malam 17 Ramadhan.

Lailatul Qadar laksana misteri yang patut untuk dicari dan didapati. Ia tidak tetap atau berubah-ubah dalam tanggal jatuhnya. Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada 10 malam terakhir bulan Ramadan. Dikatakan juga bahwa ia terjadi pada malam-malam ganjil, yaitu 21,23,25,27, dan 29.

Imam Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh beliau adalah Lailatul Qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun (lihat: Fathul Bari, 4/262-266).

Lailatul Qadar merupakan malam yang dahsyat dan penuh keutamaan. Untuk mendapatinya, tidak cukup hanya sekedar berjudi melakukan ibadah total hanya pada malam ke 21 saja atau malam 27. Namun, setelah jiwa kita ajeg bermesraan denga Allah swt di 20 hari puasa pertama, sepuluh hari terakhir ini harus betul-betul dimanfaatkan secara efektif untuk melakukan ibadah baik personal maupun sosial.

Jika Kanjeng Nabi saw sendiri selaku sosok teladan umatnya, sebagaimana riwayat mengatakan, saat memasuki sepuluh yang akhir bulan Ramadhan, mengencangkan ikat pinggangnya untuk menghidupkan malamnya dengan ibadah secara vertikal bersama keluarganya. Tentunya umat yang mengaku pengikut beliau labih berhk untuk –minimal- mencontoh teladan beliau dalam menghidupkan "'Asyra al awakhir" sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Selamat mencegat sakralitas dan keberkahan Lailatul Qadar. Wallahua'lam.

Kenitra, 9 Agustus 2012 / 20 Ramadhan 1433 H

* Tulisan ini pernah dimuat di 
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,39264-lang,id-c,kolom-t,Sakralitas++Lailatul+Qadar+-.phpx

»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Minggu, 05 Agustus 2012

Al Qur'an, Kitab Suci Yang Terkhianati


Oleh: Ali Syahbana*

Sebelum menyelami lebih jauh pokok permasalahan, pertama penulis maklum jika ada sebagian pembaca yang menganggap ekstrim judul diatas. Sebagaimana penulis juga legowo saat ada dari pembaca  yang tidak langsung ambil kesimpulan tentang judul tersebut, namun terlebih dulu melakukan penelitian dengan pembacaan menyeluruh. Sebab bagi penulis pembaca adalah manusia-manusia yang bebas untuk menilai dan berpendapat.

Jika kita bertanya tentang al Qur'an, mayoritas umat muslim, terlebih  yang pernah mengenyam pendidikan islam, akan menjawab bahwa "Al-Qur'an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"

Al Qur'an adalah kitab yang istimewa. Bagaimana tidak, Al Qur'an diturunkan di bulan mulia nan istimewa, yaitu Ramadhan. Juga salah satu keistimewaan Al Quran adalah, sebagaimana riwayat Imam At Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud, "Siapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah (Al Quran ), ia akan mendapatkan satu kebaikan yang nilainya sama dengan 10 kali ganjaran (pahala). Aku (Rasulullah saw.) tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf".

Saking istimewanya, meminjam ungkapan Simbah Kyai Mustofa Bisri dalam salah satu tulisannya, Al Quran dibaca tanpa mengerti artinya pun mendatangkan pahala. Mereka yang membacanya dengan lancar dijanjikan akan bersama-sama para malaikat yang mulia dan mereka yang membacanya gradul-gradul, tidak lancar akan diganjar dobel. Demikian menurut hadis shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari sayyidah A’isyah r.a.

Al Qur'an adalah kitab suci agama Islam yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia, pedoman dalam menjalani kehidupan yang pemahamannya diambil dari apa yang telah disampaikan ulama-ulama terdahulu merujuk ajaran Kanjeng Nabi shallallhu'alaihi wasallama.

Dalam posisinya sebagai pedoman dan pentunjuk, dalam hal ibadah Al Qur'an banyak menjelaskan akan kewajiban seorang hamba untuk tunduk dan mengabdi kepada Tuhannya. Ketundukan ini tertuang dalam kewajiban sholat lima waktu, membayar zakat, puasa di bulan suci ramadhan dan ibadah pergi haji bagi yang telah mampu menjalankannya.

Dalam hal toto kromo, Al Qur'an juga mengisyaratkan bagaimana potret kemuliaan akhlak Rasulullah saw, kelembutan sikapnya dan keramahan perangainya yang sudah barang tentu harus dijadikan teladan bagi mereka yang mengaku umat dan pengikut beliau.

Lebih jauh lagi, Al Qur'an juga memaparkan bagaimana manusia berlaku baik terhadap kedua orang tuanya, kerabatnya dan orang-orang disekitarnya. Al Qur'an melarang penindasan, ketidak-adilan, keserakahan dan segala bentuk kezaliman. Al Qur'an tidak menghendaki kemunafikan, perberbuatan keji, pengingkaran akan janji-janji maupun tindak kekerasan yang menjadikan merugi.

Al Qur'an, lagi-lagi dengan  pemahaman yang sesuai tentunya, menjadi terhormat jika ia benar-benar mampu menjadi pedoman hidup kaum muslimin. Al Qur'an tidak hanya dibaca dan dihafal, tapi jauh lebih penting bagaimana ia bisa diamalkan. Dengan begitu cita-cita hudan linnas-nya Al Qur'an menjadi terealisasikan.

Namun menjadi ironis jika umat yang mengaku berpedoman terhadap Al Qur'an ternyata tindak tanduk atau perilakunya jauh dari nilai-nilai agung yang diajarkan Al Qur'an. Melupakan kewajiban sebagai hamba telah menjadi kebiasaannya. Menindas, berlaku tidak adil, serakah ataupun merampas hak-hak kaum lemah menjadi amalan yang melekat dalam dirinya. Bersikap kasar, rajin mencela dan mecaci-maki, memfitnah, berprasangka buruk, iri, dengki dan ingkar janji jadi santapan sehari-hari. Dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Jika kenyataannya demikian, tidakkah kita lebih pantas disebut, dengan bahasa ekstrimnya, sebagai bagian dari umat yang telah mengkhianati nilai-nilai kitab suci Al Qur'an?? Terlebih jika tidak adanya usaha-usaha perbaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengamalkan rumusan-rumusan yang tertuang dalam ajaran Al Qur'an itu sendiri. Maka dari itu, melalui momen dan semangat "Nuzulul Qur'an" marilah kita berusaha untuk tidak sekedar membaca dan sibuk menghafalkan Al Qur'an, tapi juga mencoba istiqamah mengamalkan kandungan-kandungan mulia yang ada dalam Al Qur'an. Dengan begitu semoga Al Qur'an bisa menjadi syafaat dalam kesejahteraan kehidupan di dunia maupun akherat kelak.

"Allahummarhamna bil Qur'an, waj’alhu lana imaaman wa nuuran wa hudan wa rahmah. Allahumma dzakkirna minhu maa nasiina wa ’allimna minhu maa jahiilna, warzuqna tilaawatahu aana al laili wa athrofannahar, waj’alhu lana hujjatan Yaaa rabbal ‘alamiin", (Ya Allah, kasih sayangilah kami dengan sebab Al Quran, dan jadikanlah Al Quran sebagai pemimpin, sebagai cahaya, sebagai petunjuk dan sebagai rahmat bagi kami. Ya Allah ingatkanlah kami dari apa-apa yang kami lupa dalam Al Quran yang telah Kau jelaskan dan ajarilah kami terhadap apa-apa yang kami belum ketahui dalam Al Qur'an, dan karuniakanlah kami untuk selalu sempat membaca AlQuran pada malam dan siang hari, dan jadikanlah Al Quran sebagai hujjah bagi kami Wahai Dzat yang menguasai alam semesta). Wallahua'lam bis shawab.


* Santri di Universitas Ibn Tofail Kenitra, Maroko
   Kenitra, 04 Agustus 2012/15 Ramadhan 1433 H

»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Rabu, 27 Juni 2012

Keutamaan dan Amalan Bulan Sya'ban


Oleh: Ali Syahbana

Suatu waktu sahabat Usamah bin Zaid bertanya kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu memperbanyak berpuasa (selain Ramadhan) kecuali pada bulan Sya'ban? Rasulullah saw. menjawab: "Itu bulan dimana manusia banyak melupakannya, yaitu antara Rajab dan Ramadhan. Di bulan itu segala perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa". (HR. Abu Dawud dan Nasa'i).

Dalam Riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Sayyidatina Aisyah r.a. berkata: “Aku belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyempurnakan shaum selama satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan aku belum pernah melihat beliau memperbanyak shaum dalam satu bulan kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956).


Dilain tempat beliau (sayyidatina Aisyah r.a.) juga berkata: "Suatu malam Rasulullah saw. shalat, kemudian beliau bersujud panjang sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah saw. telah diambil. Karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah saw. selesai shalat beliau berkata: "Hai Aisyah engkau tidak dapat bagian?". Lalu aku menjawab: "Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah saw. telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama". Lalu beliau bertanya: "Tahukah engkau, malam apa sekarang ini". "Rasulullah yang lebih tahu", jawabku. Beliau pun berkata: "Malam ini adalah malam nisfu Sya'ban, Allah mengawasi hamba-Nya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki." (H.R. Baihaqi dari Ala’ bin Harits).

Jika kita cermati, beberapa riwayat diatas setidaknya memberikan penjelasan akan keutamaan-keutamaan bulan Sya’ban. Dikatakan bahwa bulan Sya’ban ialah bulan dimana amal-amal perbuatan manusia diangkat ke hadirat Tuhan penguasa alam. Bulan Sya’ban juga merupakan bulan dimana Allah swt. -saat malam pertengahan bulan Sya’ban- mengawasi hamba-hamba-Nya (adakah diantara mereka yang mendirikan qiyamul lail saat itu), memaafkan mereka yang memohon ampunan, mencurahkan kasih saying bagi mereka yang mengharapkannya dan menyingkirkan hamba-hamba-Nya yang bersifat pendengki.

Dan jika mau kita cermati beberapa riwayat diatas, ada dua hal yang biasa atau setidaknya pernah dilakukan rasulullah saw. di bulan Sya’ban yaitu memperbanyak berpuasa serta ber-qiyamul lail (mendirikan shalat) pada malam pertengahan bulan Sya’ban.

Memperbanyak berpuasa merupakan amaliah yang sangat gemar dilakukan Rasulullah saw. di bulan Sya’ban. Maksud memperbanyak disini bukan berarti beliau melakukannya sebulan penuh akan tetapi beliau sering mengisi hari-hari di bulan Sya’ban dengan berpuasa.

Disamping menganjurkan berpuasa di bulan Sya’ban, Rasulullah saw. juga melarang umatnya berpuasa jika hal tersebut dilakukan sehari atau dua hari sebelum bulan sya’ban berakhir. Sebagaimana sabda saw. :

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah.” (HR. Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082 dari Abu Hurairah).

Dalam hal ini Imam Nawawi dalam kitab Majmu’nya mengatakan bahwa apabila puasa sehari atau dua hari tersebut memiliki sebab atau merupakan kebiasaan dia berpuasa, seperti puasa dahr (puasa satu tahun penuh), puasa nabi daud (satu hari puasa satu hari berbuka) atau puasa senin-kamis maka maka hal tersebut di bolehkan. Namun jika tidak, maka hal itu terlarang.

Adapun tentang qiyamul lail, meskipun apa yang diriwayatkan Imam Baihaqi bersifat mursal (tidak valid), namun hal ini tidak mengurangi akan keutamaan bulan Sya’ban melihat banyak riwayat sahih lainnya yang menunjukkan keutamaan bulan tersebut. Jadi, adalah mulia jika malam nisfu Sya’ban diisi dengan memperbanyak ibadah shalat, zikir, membaca al Qur’an, berdoa atau bermacam kegiatan positif lainnya.

Waba’du, marilah kita manfaatkan kesempatan mencicipi bulan yang penuh keutamaan ini dengan memperbanyak ibadah puasa atau amal shalih lainnya. Selain sebagai manifestasi pendekatan diri kepada Allah swt. (taqarruban ilallah), puasa juga bisa menjadi ajang pemanasan dalam menghadapi bulan Ramadhan yang didalamnya diwajibkan berpuasa. Jika seseorang terbiasa berpuasa sebelum Ramadhan, maka ia akan lebih terbiasa, lebih kuat dan lebih bersemangat dalam menunaikan puasa wajib dibulan Ramadhan. Wallahua’lam bisshawab.


Rabat, 18 Juli 2010
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Jumat, 22 Juni 2012

Kado Terindah Dari Rajab


Oleh: Ali Syahbana

Beberapa hari yang lalu, ada sebagian -kalau tidak semua- ulama dalam negeri mengumumkan tentang jatuhnya awal bulan Sya’ban. Dan sudah barang tentu dengan beredarnya keputusan para pakar teropong bulan sabit tersebut, pertanda bahwa bulan Rajab telah habis masa aktifnya secara hitung-hitungan kalender hijriyah tahun ini.

Bulan yang secara sah dinyatakan kemuliaannya, untuk sementara harus rela menunggu giliran untuk menampakkan kembali kemuliaannya. Bulan yang banyak menyimpan keistimewaan dan keutamaan, kali ini harus terima untuk tidak menampakkan keistimewaan dan kemuliaannya. Bulan Rajab mesti legowo memberikan estafet kalenderisasi ke tetangganya, Sya’ban.

Namun kendati demikian, Rajab setidaknya masih tetap bisa berbangga diri. Masih bisa memberikan kenikmatan-kenikmatan dari imbas positif yang melekat pada dirinya. Meskipun telah tergantikan oleh Sya’ban atau bulan lainnya. Apa pasal?? Hal itu tidak lebih dari berkah status “Bulan Istighfar” yang melekat pada Rajab. Serta syafa’at yang ia peroleh dari peristiwa agung “Isra’ Mi’raj”. Peristiwa yang menjadikan Nabi teladan, Muhammad saw., dalam waktu singkat dimalam hari melakukan diplomasi kemaslahatan (permohonan) dengan Tuhannya, yang salah satu deal kesepakatannya berupa kewajiban shalat lima waktu dalam sehari, kewajiban untuk beliau sebagai teladan dan untuk umat islam yang mengaku atau selaku pengikutnya.

Dua hal tersebut (shalat dan pembiasaan istighfar) merupakan kado terindah dari Rajab yang tak akan usang ditelan zaman. Dari masa ke masa, dari Rajab ke Rajab berikutnya. Shalat merupakan dekrit resmi Sang Maha Kuasa yang, sebagaimana banyak riwayat mengatakan, menjadi tonggak utama dalam kalkulasi akhir amal perbuatan manusia di hari perhitungan kelak. Kalau baik shalat seorang hamba, sempurna lima waktu dalam sehari, meskipun secara qadhaan (shalat diluar waktu yang sudah ditentukan karna alasan yang sah), maka jalan menuju kebahagiaan akhirat pun akan ikut mulus. Jika shalatnya gradal gradul, semoga saja keagungan sifat Maha Penyayang Allah swt. bisa menjadi pembelok nasib.

Sedangkan istighfar (salah satu kalimatnya: astaghfirullahal’adzim wa atubu ilaih) merupakan sms permohonan ampunan seorang hamba kepada Tuhannya. Disadari atau tidak, manusia adalah makhluk yang tidak pernah luput dari khilaf dan dosa. Manusia sering latah dengan kesalahan-kesalahan, baik kecil maupun besar. Manusia juga kadang rileks saat ia tidak patuh terhadap tata aturan -termasuk perintah shalat lima waktu- yang dibuat Allah swt., selaku Penciptanya. Dan tentunya dengan benar-benar sadar akan kekerdilan dirinya selaku manusia yang sering mbeling, sering tidak menghambakan diri kepada Allah swt., istighfar merupakan salah satu jalan yang ampuh untuk menghapus kesalahan dari amal perbuatan manusia, membersihkan noda-noda kotor yang sudah banyak melekat pada hati manusia. Istaghfiru Rabbakum innahu kaana ghaffara, mohon ampunlah kepada Allah swt. karna Dialah yang benar-benar Maha Pengampun.

Dengan masuknya bulan Sya’ban yang dikenal dengan bulan “slawatan”nya, tidak serta merta menjadikan manusia nge-lupa akan kado terindah yang tulus diberikan Rajab. Seseorang yang mengaku bagian dari umat Nabi teladan saw. patutnya  harus menengok kembali bagaimana beliau menikmati keindahan kado tersebut. Bagaimana penghambaan total sosok teladan yang tentunya tidak berhenti pada ketaatan menjalankan shalat lima waktu semata. Juga bagaimana sosok yang jelas-jelas dibebaskan dari kesalahan selalu beristighfar dalam sehari-hari sebanyak 70 kali, bahkan lebih. Masih pede-kah orang tersebut mengaku pengikut keteladanan nabi agung Muhammad saw.?? Semoga saja. Wallahua’lam bisshowab.

Kenitra, 22 Juni 2012 (02 Sya'ban 1433 H)
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...