Oleh: Ali Syahbana
Tepat hari Jum’at 16 Januari ujian semester putaran pertama, atau dalam istilah orang arabnya “Imtihan Niha’i – Fashlul awal” terselesaikan. Ujian yang membuat terforsirnya tenaga dan pikiran itu akhirnya sirna jua. Bagaimana tidak !! Ujian tersebut telah memaksa rentetan mahasiswa untuk tampil all out dalam menguasai, memahami dan menghapal tumpukan kitab-kitab dan beberapa muqorror (sejenis panduan materi yang berisi sedikitnya 50 halaman, yang dikreasi Ustadz sendiri) yang telah mereka pelajari sehari-hari dengan jadwal yang pasti.
Sebagai misal pada maddah (bisa dikatakan pelajaran) “ulumul hadits” dengan kitabnya “Mandzumah al Baiquniah” berikut syarahnya merupakan syarat mutlak yang di berikan Ustadz sebagai materi ujian. Jika mahasiswa (selanjutnya memakai istilah “Thulabah”) tidak hapal matan-matan kitab tersebut dan tidak mampu menguasai perihal beberapa ta’rif atau pengertian dalam literatur ilmu hadits, tak mengerti bagaimana syarat hadits shohih, perbedaan hadits masyhur, aziz dan ghorib, tindakan apa yang kita ambil jika terjadi kontroversi antar ulama dalam hal seperti ini dan itu, dan lain-lain, sulit bagi mereka untuk menjadi the winner in a hadits exam.
Tak beda dengan “ulumul hadits”, dalam maddah “ulumul qur’an” pun demikian. Thulabah dituntut untuk menguasai bagaimana kronologi nuzulul qur’an berikut hikmah-hikmahnya, Penyusunan atau penyatuan Al Qur’an era sahabat, ihwal wahyu ilahi, makky wal madany, nasikh mansukh, muhkam mutasyabih, dan sebagainya.
Dalam pada itu, pada maddah “ushul fiqh” Thulabah mau tak mau harus menguasai ta’rif dasar ushul fiqh (lughotan wa istilahan), aplikasi takhsisul ‘am, tafsilul mujmal dan lain-lain, bentuk ijtihad para sahabat yang menerapkan kaidah-kaidah yang berbau fiqh yang sedikit banyaknya telah dituturkan Syaikh Ibnu Qoyyim al Jauzi - salah satu ulama dari madzhab hambali - dalam karyanya “I’lamul Muwafiqin ‘an Rabbil ‘Alamin”.
Tuntutan untuk hafal lebih ekstra datang dari dua maddah yang bernuansa sejarah, yaitu tarikh tasyri’ dalam fiqh islam dan harkah islahiyyah. Atas nama “Road to Imtihan”, pada maddah pertama sang Ustadz membebani Thulabah agar memahami dan hapal betul biografi empat madzhab (Hanafy, Maliky, Syafi’iy dan Hanbaly) termasuk manhaj atawa metode dalam berijtihad berikut perkembangan madzhabnya, ditambah pengetahuan global madzhab-madzhab selain yang empat tersebut. Dan semua pembahasan itu tertera dalam kitab “Bulughul amany fi tarikh fiqh islamy”, tinggal bagaimana Thulabah mengemasnya menjadi khulashoh-khulasoh (rangkuman-rangkuman) cantik nan menarik sehingga mudah dipahami pun dikuasai.
Di bawah payung “Road to Imtihan” jua sang Ustadz menekankan agar Thulabah hapal sejarah tokoh-tokoh di era pembaharuan (‘ashrul hadits) seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan gerakan madrasah salafiyahnya, atau Syaikh Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman al Bana yang masyhur dengan sebutan “Imam al Bana” dengan gerakan ikhwanul musliminnya, juga disusul Syaikh Jamaluddin al Afghany, Syaikh Muhammad Abduh, dan lain sebagainya yang kesemuanya terbungkus dalam sebuah kitab “Harkah Islahiyyah Bainal Amal wal Mahadzir”
Tak berbeda dengan beberapa maddah diatas. Akidah dan Fikr Islam, dua maddah yang sedikit banyaknya memiliki korelasi dalam beberapa materi juga ikut berpartisipasi menjadi deretan beberapa maddah yang - tidak bisa tidak - harus dipahami dan dikuasai agar Thulabah sukses dalam imtihan niha’i. Disusul maddah-maddah lainnya seperti bahasa arab, taqniyyatut ta’bir dan bahasa prancis yang semuanya senada dengan ungkapan “ Hapal, Kuasai dan Pahami Jika Tidak Ingin Merugi”.
Ujian telah berlalu, namun hasil akhirnya masih menunggu waktu. Najah (sukses) tidaknya tergantung bagaimana Thulabah menanam pemahaman materi jauh-jauh sebelum ujian menghampiri. Adapun bagi mereka yang baik dalam penanaman, tentu akan menuai hasil yang baik pula. Hal ini setidaknya sejalur dengan pameo, “siapa yang menanam, pasti akan menuai hasilnya. Wallahua’lam bisshowab.
Kenitra, 19 Januari 2009.