Minggu, 30 Agustus 2009

Celoteh Anak Kampus: Ujian Yang Melelahkan

Oleh: Ali Syahbana

Tepat hari Jum’at 16 Januari ujian semester putaran pertama, atau dalam istilah orang arabnya “Imtihan Niha’i – Fashlul awal” terselesaikan. Ujian yang membuat terforsirnya tenaga dan pikiran itu akhirnya sirna jua. Bagaimana tidak !! Ujian tersebut telah memaksa rentetan mahasiswa untuk tampil all out dalam menguasai, memahami dan menghapal tumpukan kitab-kitab dan beberapa muqorror (sejenis panduan materi yang berisi sedikitnya 50 halaman, yang dikreasi Ustadz sendiri) yang telah mereka pelajari sehari-hari dengan jadwal yang pasti.

Sebagai misal pada maddah (bisa dikatakan pelajaran) “ulumul hadits” dengan kitabnya “Mandzumah al Baiquniah” berikut syarahnya merupakan syarat mutlak yang di berikan Ustadz sebagai materi ujian. Jika mahasiswa (selanjutnya memakai istilah “Thulabah”) tidak hapal matan-matan kitab tersebut dan tidak mampu menguasai perihal beberapa ta’rif atau pengertian dalam literatur ilmu hadits, tak mengerti bagaimana syarat hadits shohih, perbedaan hadits masyhur, aziz dan ghorib, tindakan apa yang kita ambil jika terjadi kontroversi antar ulama dalam hal seperti ini dan itu, dan lain-lain, sulit bagi mereka untuk menjadi the winner in a hadits exam.

Tak beda dengan “ulumul hadits”, dalam maddah “ulumul qur’an” pun demikian. Thulabah dituntut untuk menguasai bagaimana kronologi nuzulul qur’an berikut hikmah-hikmahnya, Penyusunan atau penyatuan Al Qur’an era sahabat, ihwal wahyu ilahi, makky wal madany, nasikh mansukh, muhkam mutasyabih, dan sebagainya.

Dalam pada itu, pada maddah “ushul fiqh” Thulabah mau tak mau harus menguasai ta’rif dasar ushul fiqh (lughotan wa istilahan), aplikasi takhsisul ‘am, tafsilul mujmal dan lain-lain, bentuk ijtihad para sahabat yang menerapkan kaidah-kaidah yang berbau fiqh yang sedikit banyaknya telah dituturkan Syaikh Ibnu Qoyyim al Jauzi - salah satu ulama dari madzhab hambali - dalam karyanya “I’lamul Muwafiqin ‘an Rabbil ‘Alamin”.

Tuntutan untuk hafal lebih ekstra datang dari dua maddah yang bernuansa sejarah, yaitu tarikh tasyri’ dalam fiqh islam dan harkah islahiyyah. Atas nama “Road to Imtihan”, pada maddah pertama sang Ustadz membebani Thulabah agar memahami dan hapal betul biografi empat madzhab (Hanafy, Maliky, Syafi’iy dan Hanbaly) termasuk manhaj atawa metode dalam berijtihad berikut perkembangan madzhabnya, ditambah pengetahuan global madzhab-madzhab selain yang empat tersebut. Dan semua pembahasan itu tertera dalam kitab “Bulughul amany fi tarikh fiqh islamy”, tinggal bagaimana Thulabah mengemasnya menjadi khulashoh-khulasoh (rangkuman-rangkuman) cantik nan menarik sehingga mudah dipahami pun dikuasai.

Di bawah payung “Road to Imtihan” jua sang Ustadz menekankan agar Thulabah hapal sejarah tokoh-tokoh di era pembaharuan (‘ashrul hadits) seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan gerakan madrasah salafiyahnya, atau Syaikh Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman al Bana yang masyhur dengan sebutan “Imam al Bana” dengan gerakan ikhwanul musliminnya, juga disusul Syaikh Jamaluddin al Afghany, Syaikh Muhammad Abduh, dan lain sebagainya yang kesemuanya terbungkus dalam sebuah kitab “Harkah Islahiyyah Bainal Amal wal Mahadzir”

Tak berbeda dengan beberapa maddah diatas. Akidah dan Fikr Islam, dua maddah yang sedikit banyaknya memiliki korelasi dalam beberapa materi juga ikut berpartisipasi menjadi deretan beberapa maddah yang - tidak bisa tidak - harus dipahami dan dikuasai agar Thulabah sukses dalam imtihan niha’i. Disusul maddah-maddah lainnya seperti bahasa arab, taqniyyatut ta’bir dan bahasa prancis yang semuanya senada dengan ungkapan “ Hapal, Kuasai dan Pahami Jika Tidak Ingin Merugi”.

Ujian telah berlalu, namun hasil akhirnya masih menunggu waktu. Najah (sukses) tidaknya tergantung bagaimana Thulabah menanam pemahaman materi jauh-jauh sebelum ujian menghampiri. Adapun bagi mereka yang baik dalam penanaman, tentu akan menuai hasil yang baik pula. Hal ini setidaknya sejalur dengan pameo, “siapa yang menanam, pasti akan menuai hasilnya. Wallahua’lam bisshowab.

Kenitra, 19 Januari 2009.
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Indahnya Ramadhan

Oleh: Ali Syahbana*

Sungguh, rasa syukur merupakan hal yang utama yang melulu patut kita layangkan kehadirat-Nya. Bagaimana tidak? Berkat anugrah, rahmat serta inayah-Nya kita masih diberi kesempatan untuk kembali mencicipi indahnya bulan Ramadhan. Suatu bulan yang belum tentu kita temui di beberapa kesempatan berikutnya.

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa dengan beberapa rentetan keistimewaannya. Juga merupakan bulan yang agung, mulia pun penuh brkah. Pada bulan ini telah diwajibkan bagi umat islam se-antero dunia untuk berpuasa. Pada bulan ini telah dibuka pintu-pintu surga, dalam artian adanya kemudahan bagi manusia untuk meraihnya disebabkan pahala yang diobral secara besar-besaran. Pada bulan ini juga ditutup pintu-pintu neraka, dibelenggu setan-setan. Dan yang tak ketinggalan, akan kita jumpai -Insya Allah- suatu malam yang dahsyat, suatu malam yang nilainya lebih berharga dari seribu bulan, yaitu “Lailatul Qadar”. Firman Allah swt: “Lailatul qadri khairun min alfi as-syahr, tanazzalul malaaikatu wa ar-ruuhu fiiha bi idzni rabbihi min kulli amr, salaamun hiya hatta mathla’il fajr.” Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS.)

Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Ahmad, Nasa’I dan Al Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda:

“Sungguh, telah datang padamu bulan yang penuh berkah, dimana Allah mewajibkan kamu berpuasa, disaat dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu setan-setan, dan dimana dijumpai suatu malam yang lebih berharga dari seribu bulan. Maka barangsiapa yang tidak berhasil beroleh kebaikannya, sungguh tiadalah ia akan mendapatkan itu untuk selama-lamanya.”

Rasulullah saw dalam khutbahnya pada hari terakhir bulan Sya’ban telah memberikan gambaran keindahan bulan yang mulia ini. Sabda beliau:

“Bulan Ramadhan adalah bulan sabar, pahala sabar adalah surga. Bulan Ramadhan adalah bulan solidaritas (tolong-menolong), dan bulan dimana rizki orang mukmin bertambah. Barangsiapa memberi buka puasa pada bulan itu kepada yang berpuasa, maka baginya maghfirah (ampunan) bagi dosa-dosanya dan bebas dirinya dari api neraka. Ia mendapat pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa itu tanpa sedikitpun mengurangi pahala orang yang berpuasa. Para sahabat bertanya “Tidak mungkin kami semua dapat memberi makanan berbuka puasa kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah menjawab: “Allah SWT akan memberi pahala (seperti itu) kepada siapa saja yang memberi makanan berbuka puasa kepada orang yang berpuasa (meskipun) dengan sebutir kurma atau seteguk air.”

Bulan Ramadhan adalah bulan yang awalnya rahmat, pertengahannya maghfirah dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Dan barang siapa meringankan (beban) pembantu atau pegawainya di bulan tersebut maka Allah akan mengampuni dosanya dan Allah bebaskan dia dari api neraka. Dan perbanyaklah pada bulan Ramadhan ini empat perkara, (yakni) dua perkara untuk menyenangkan Tuhanmu, ialah membaca syahadat (asyhadu an laa ilaaha illallah) dan membaca istighfar (astaghfirullah). Sedang dua perkara yang justru tidak boleh tidak dari padanya, ialah memohon surga dan berlindung pada Allah dari api neraka.

Barangsiapa memberi minuman bagi orang yang berbuka berpuasa, maka Allah akan memberinya minuman dari telagaku dan ia tidak akan haus lagi setelah itu selama-lamanya.” (HR. Khuzaimah, Al Baihaqi dan Ibnu Hibban dari salman Al farisi).

Di lain kesempatan Rasulullah saw juga mensosialisasikan hal menarik lainnya dari bulan Ramadhan. Beliau menuturkan tentang bagaimana spesialnya amalan berpuasa. Suatu amalan yang berbeda dengan amalan Bani Adam pada umumnya. Dimana amalan puasa hasil akhirnya dikembalikan kepada Tuhannya, bukan untuk manusia itu sendiri sebagaimana amalan-amalan selain berpuasa. Disamping itu bahwa bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum disisi Allah swt daripada aroma minyak misik pada hari kiamat.

Dari Abu Hurairah ra, rasulullah saw bersabda: “Allah swt berfirman (setiap amalan anak Adam untuknya kecuali puasa adalah untuk-Ku dan aku akan mengganjarnya). Puasa itu adalah perisai, maka bila seseorang diantaramu berpuasa jangan berkata kotor, bersuara kasar dan berbuat jahil. Apabila ada yang mengumpatnya atau mengajak berkelahi maka hendaklah ia katakan, “aku sedang berpuasa,” sebanyak dua kali. Demi jiwa yang Muhammmad di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah swt daripada aroma minyak misik pada hari kiamat. Orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan, ketika berbuka puasa gembira dengan bukanya, dan ketika bertemu Rabbnya gembira dengan (pahala) puasanya.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i).

Selain itu, salah satu hal terindah dari bulan Ramadhan ialah tujuan dari diwajibkannya umat islam berpuasa menahan lapar dan dahaga dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari yang tidak lain “la’allakum tattaquun” (baca; QS. 2:183), terbentuknya pribadi-pribadi yang bertakwa, pribadi-pribadi yang taat akan semua bentuk perintahnya dan bersemangat dalam meninggalkan segala jenis larangannya dalam keadaan apapun. Baik pada saat berada pada posisi seorang diri maupun saat berkumpul dengan sesama makhluk Ilahi. Baik secara rahasia atau sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Bukan sebaliknya, yaitu saat berkumpul bersama kita tunjukkan seolah-olah kita makhluk yang bertakwa, akan tetapi saat sendirian tindakan kita jauh dari semestinya. Saat dalam posisi terlihat manusia (terang-terangan) kita khusyu’ dan penuh semangat beribadah, bersikap baik dan banyak menonjolkan perilaku terpuji. Namun ketika dalam posisi sirri (sembunyi-sembunyi) jangankan khusyu’, untuk beribadah (bertakwa) saja malasnya bukan main, hati kita diselimuti rasa kedengkian yang memalukan, keangkuhan yang tinggi, penuh rasa ta’ajjub (membanggakan diri sendiri) dan sifat-sifat buruk lainnya. Na’udzubillahi min dzaalik.

Sedangkan konsekuensi atau akibat dari ketakwaan itu sendiri ialah sebuah kemuliaan disisi Allah swt. Kemuliaan yang nilainya tak terhingga. Kemuliaan yang didamba-dambakan umat manusia. Sehingga dengan capaian kemuliaan itu manusia akan lebih mudah untuk menikmati indahnya kehidupan di surga kelak yang merupakan terminal terakhir kehidupan terbaik manusia. Firman Allah swt: “Inna akramakum ‘indaAllahi atqaakum.” Sesungguhnya yang termulia disisi Allah ialah ketakwaanmu, (QS. 49:13). Begitupun dengan Firman-Nya: “ wasaari’uu ila maghfiratin min rabbikum wajannatin ‘arduhassamaawaatu wal ardu, u’iddat lil muttaqiin.” Dan bersegerahlah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (QS. 3:133 ).

Semoga kesempatan berpuasa yang kita dapatkan ini bisa menjadi motivator bagi kita untuk lebih bergairah lagi dalam merengkuh hal-hal terindah yang terdapat dalam bulan yang penuh barokah ini. Dan semoga Allah juga selalu mencurahkan rahmat kasih sayangnya kepada kita dalam menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang tunduk serta patuh terdahap perintah dan larangan-Nya. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Wallahua’lambishowab.

*  Catatan Ramadhan 2009
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...