Minggu, 23 September 2012

"Si Khusus" Yang Tak Terurus


Oleh: Ali Syahbana

Menurut pemahaman kebanyakan orang, kata "khusus" identik dengan hal-hal yang diluar kebiasaan atau kelumrahan. "khusus" bisa juga berarti sesuatu yang diistimewakan, disakralkan, di-menjadi pentingkan. Boleh juga dikatakan "khusus" adalah pembeda antar satu dengan lainnya. Seperti contoh "meja makan ini khusus pejabat", maka jelas bahwa orang yang tidak berlabel pejabat tidak berhak menempati meja tersebut. Meja yang awalnya biasa menjadi istimewa ketika di istimewakan, menjadi sakral saat disakralkan.

Dalam praktek ibadah haji, ada jamaah yang berlabel reguler, yaitu jamaah biasa yang tergabung dalam kloter-kloter dari berbagai penjuru Indonesia. Jamaah yang untuk mertamu ke tanah suci harus nyicil bayar ONH (Ongkos Naik Haji)nya dan setia antri sampai lebih dari lima tahun lamanya. Ada juga jamaah haji berstempel khusus yang bisa sowan ke baitullah seketika waktu tanpa harus menunggu bertahun-tahun seperti jamaah reguler (tidak khusus).

Umumya, jamaah haji "khusus" mendapat perlakuan yang khusus dan istimewa saat di tanah suci. Saat tiba di bandara Arab Saudi saja sudah disambut tim yang memang khusus menjadi pengurus mereka. Tempat tinggal mereka dihotel berkelas yang sangat dekat dengan masjidil haram dan nabawi. Saat wuquf di Arafah (begitu juga mabit di Mina) tenda istirahat mereka minimal nyrempet-nyrempet dengan kondisi tenda pejabat negara. Jika tenda para pejabat bermuatan kasur empuk, bantal dan ruang tamu kecil-kecilan, maka mereka yang berlabel haji "khusus" hanya tidak memiliki ruang tamu saja dalam tendanya. Berbeda dengan haji biasa yang hanya berisi gelaran karpet sederhana yang menempel diatas tanah yang kadang juga tidak rata sebab batu atau kerikil yang mengganjalnya.

Akan tetapi, gambaran diatas menjadi ironis saat penulis mendapatkan kesempatan kali kedua menjadi petugas Panitia Pelaksana Ibadah Haji (PPIH) tahun 2011. Penulis yang kebagian tugas sebagai Pengawas Ibadah Haji Khusus (PIHK) Daerah Kerja (Daker) Jeddah sering mendapati perlakuan yang tidak khusus -bahkan sangat memprihatinkan- yang didapati jamaah haji berlabel "khusus". Ada dari mereka yang harus terlantar berjam-jam bahkan berhari-hari di bandara sebab ketidakjelasan atau ketidak-bertanggung jawaban tim pengurusnya. Sampai tidak jarang jamaah yang saking kecewa dan sakit hatinya berucap, "kalo tau begini turunan saya tidak akan saya hajikan lewan travel haji khusus!!".

Yang sepertinya menarik dan lebih parah lagi, masih ada saja travel-travel "gaib" yaitu travel non-kuota atau yang tidak terdaftar resmi di Depag, tidak mendapat nomor porsi Haji, serta tidak mendapatkan DAPIH (Dokumen Administrasi Perjalanan Ibadah Haji). Travel seperti ini biasanya hanya memikirkan keuntungan materi semata, tanpa mempedulikan nasib jamaah haji kedepannya yang juga sama-sama berbendera Indonesia. Penulis sendiri tidak paham mengapa travel-travel model tersebut bisa lolos hingga sampai Arab Saudi. Entah apakah ada oknum-oknum dagelan yang bermain dibelakang mereka??.

Dengan iming-iming menggiurkan menjadi haji "khusus", jamaah yang awalnya ingin nyaman dan cepat melaksanakan ibadah haji malah harus pontang-panting memikirkan nasib mereka baik saat, selama hingga kepulangan dari tanah suci. Seolah ke"khusus"an mereka menjadi tidak lebih istimewa dari jamaah biasa (reguler) yang -menurut penulis- lebih terjamin pelayanannya.

Bagaimana tidak terjamin, lha wong baru keluar gate (pintu keluar dan masuk) bandara saja mereka sudah dilayani dengan baik oleh para petugas. Petugas urusan koper merapikan dan mengamankan koper mereka. Petugas urusan per-dokumen-an mengurus dokumen-dokumen mereka (paspor, dll). Petugas transportasi menyiapkan transportasi mereka kapanpun, dimanapun dan kemanapun mereka bergerak. Petugas dipemondokan menyambut dan melayani mereka. Yang bingung ditunjukkan, yang tersesat diantarkan, dlsb, dlsb.

Dan lagi-lagi berbeda dengan yang "khusus", terlebih dari travel non-kouta, dengan pengurus "khusus" yang sedikit dan terbatas menjadikan mereka yang berlabel jamaah haji khusus harus cerdas dan kreatif sendiri saat pergi-pergi agar jangan sampai tersesat. Sebab jika tidak demikian, menjadi fatal bagi mereka saat tersesat. Petugas PPIH pun sulit mengenali identitas (nama travel, pemondokan, ketua rombongan, dll) mereka sehingga harus berhari-hari untuk sekedar mengembalikan mereka ke tempat (pemondokan) semula. Hal seperti ini pernah penulis rasakan saat mendapat kesempatan menjadi petugas PPIH bagian Informasi dan Penerangan di Mabes (Markas Besar) Daker Mekkah tahun 2009 silam.

Pada akhirnya, menurut hemat penulis bagi mereka yang awam akan kondisi per-hajian Indonesia sepertinya lebih baik berhaji secara reguler meski harus setia menunggu beberapa tahun lamanya. Minimal kalau tidak sampai umur, niatan tulus untuk sowan dan menyempurnakan rukun islam sudah bisa menjadi cacatan amal baik bagi mereka. Timbang harus ngoyo ingin cepat-cepat berhaji dengan melalui jalur "khusus" namun malah tidak teruurus.

Dan hemat penulis juga, berhaji khusus lebih pas bagi mereka yang memang siap baik secara pemahaman, pengetahuan maupun pengalaman terbang. Atau bagi mereka yang melalui travel haji khusus yang memang terpercaya, teruji dan bertanggung jawab. Berhaji khusus bahkan bisa menjadi tidak lebih baik, pas dan etis jika motif (niatan) berhajinya malah melenceng dari semestinya. Adakah yang modelnya seperti itu?? Wallahua'lam bis shawab.

*Griya Kenitra, 23 September 2012

Tidak ada komentar: