Oleh: Ali Syahbana
Menurut pemahaman kebanyakan orang, kata "khusus" identik
dengan hal-hal yang diluar kebiasaan atau kelumrahan. "khusus" bisa
juga berarti sesuatu yang diistimewakan, disakralkan, di-menjadi pentingkan. Boleh
juga dikatakan "khusus" adalah pembeda antar satu dengan lainnya. Seperti
contoh "meja makan ini khusus pejabat", maka jelas bahwa orang yang
tidak berlabel pejabat tidak berhak menempati meja tersebut. Meja yang awalnya
biasa menjadi istimewa ketika di istimewakan, menjadi sakral saat disakralkan.
Dalam praktek ibadah haji, ada jamaah yang berlabel reguler, yaitu
jamaah biasa yang tergabung dalam kloter-kloter dari berbagai penjuru
Indonesia. Jamaah yang untuk mertamu ke tanah suci harus nyicil bayar
ONH (Ongkos Naik Haji)nya dan setia antri sampai lebih dari lima tahun lamanya.
Ada juga jamaah haji berstempel khusus yang bisa sowan ke baitullah seketika
waktu tanpa harus menunggu bertahun-tahun seperti jamaah reguler (tidak
khusus).
Akan tetapi, gambaran diatas menjadi ironis saat penulis mendapatkan
kesempatan kali kedua menjadi petugas Panitia Pelaksana Ibadah Haji (PPIH)
tahun 2011. Penulis yang kebagian tugas sebagai Pengawas Ibadah Haji Khusus
(PIHK) Daerah Kerja (Daker) Jeddah sering mendapati perlakuan yang tidak khusus
-bahkan sangat memprihatinkan- yang didapati jamaah haji berlabel "khusus".
Ada dari mereka yang harus terlantar berjam-jam bahkan berhari-hari di bandara
sebab ketidakjelasan atau ketidak-bertanggung jawaban tim pengurusnya. Sampai tidak
jarang jamaah yang saking kecewa dan sakit hatinya berucap, "kalo tau
begini turunan saya tidak akan saya hajikan lewan travel haji khusus!!".
Yang sepertinya menarik dan lebih parah lagi, masih ada saja
travel-travel "gaib" yaitu travel non-kuota atau yang tidak terdaftar
resmi di Depag, tidak mendapat nomor porsi Haji, serta tidak mendapatkan DAPIH
(Dokumen Administrasi Perjalanan Ibadah Haji). Travel seperti ini biasanya
hanya memikirkan keuntungan materi semata, tanpa mempedulikan nasib jamaah haji kedepannya yang juga sama-sama berbendera Indonesia. Penulis sendiri tidak
paham mengapa travel-travel model tersebut bisa lolos hingga sampai Arab Saudi.
Entah apakah ada oknum-oknum dagelan yang bermain dibelakang mereka??.
Dengan iming-iming menggiurkan menjadi haji "khusus", jamaah
yang awalnya ingin nyaman dan cepat melaksanakan ibadah haji malah harus
pontang-panting memikirkan nasib mereka baik saat, selama hingga kepulangan
dari tanah suci. Seolah ke"khusus"an mereka menjadi tidak lebih
istimewa dari jamaah biasa (reguler) yang -menurut penulis- lebih terjamin
pelayanannya.
Bagaimana tidak terjamin, lha wong baru keluar gate (pintu
keluar dan masuk) bandara saja mereka sudah dilayani dengan baik oleh
para petugas. Petugas urusan koper merapikan dan mengamankan koper mereka. Petugas
urusan per-dokumen-an mengurus dokumen-dokumen mereka (paspor, dll). Petugas transportasi
menyiapkan transportasi mereka kapanpun, dimanapun dan kemanapun mereka
bergerak. Petugas dipemondokan menyambut dan melayani mereka. Yang bingung
ditunjukkan, yang tersesat diantarkan, dlsb, dlsb.
Dan lagi-lagi berbeda dengan yang "khusus", terlebih dari
travel non-kouta, dengan pengurus "khusus" yang sedikit dan terbatas
menjadikan mereka yang berlabel jamaah haji khusus harus cerdas dan kreatif
sendiri saat pergi-pergi agar jangan sampai tersesat. Sebab jika tidak demikian,
menjadi fatal bagi mereka saat tersesat. Petugas PPIH pun sulit mengenali identitas
(nama travel, pemondokan, ketua rombongan, dll) mereka sehingga harus berhari-hari untuk sekedar mengembalikan
mereka ke tempat (pemondokan) semula. Hal seperti ini pernah penulis rasakan
saat mendapat kesempatan menjadi petugas PPIH bagian Informasi dan Penerangan
di Mabes (Markas Besar) Daker Mekkah tahun 2009 silam.
Pada akhirnya, menurut hemat penulis bagi mereka yang awam akan kondisi
per-hajian Indonesia sepertinya lebih baik berhaji secara reguler meski harus setia
menunggu beberapa tahun lamanya. Minimal kalau tidak sampai umur, niatan tulus
untuk sowan dan menyempurnakan rukun islam sudah bisa menjadi cacatan
amal baik bagi mereka. Timbang harus ngoyo ingin cepat-cepat berhaji
dengan melalui jalur "khusus" namun malah tidak teruurus.
Dan hemat penulis juga, berhaji khusus lebih pas bagi mereka yang memang
siap baik secara pemahaman, pengetahuan maupun pengalaman terbang. Atau bagi mereka yang
melalui travel haji khusus yang memang terpercaya, teruji dan bertanggung
jawab. Berhaji khusus bahkan bisa menjadi tidak lebih baik, pas dan etis jika
motif (niatan) berhajinya malah melenceng dari semestinya. Adakah yang modelnya seperti itu?? Wallahua'lam bis shawab.
*Griya Kenitra, 23 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar