Rabu, 24 April 2013

Mengenal Maulay Adussalam bin Masyisy, ”Quthbul Aqthab” dari Maroko

Oleh: Ali Syahbana

Bagi kebanyakan ulama, bahkan masyarakat bisaa di Maroko, nama Maulay Adussalam bin Masyisy sudah tidak asing lagi ditelinga mereka. Beliau, sebagamana tercatat dalam kitab at Thabaqat as Syadziliyah al Kubro karangan Syekh Hasan bin Muhammad bin Qasim at Tazy, merupakan guru dari tiga wali quthub (pemimpin para wali), yaitu Syekh Ahmad al Badawi (murid wali quthub Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Syekh Ahmad Rifai), Syekh Ibrahim Ad Dusuqi dan Syekh Abu al Hasan Ali bin Abdillah as Syadzili (Pendiri tarekat Syadziliyah). Dari sini, sependek pengamatan penulis, beliau dalam dunia perwali-an masuk kategori “al Ghouts” yang berarti penuntun atau pembimbing kepada kebaikan dan kebagusan, khususunya dalam menuju makrifat kepada Allah swt., atau ”Quthbul Aqthab” (Pemimpinnya para pemimpin wali).

Maulay Abdussalam bin Masyisy dengan kedalaman ilmu dan kezuhudannya yang tinggi adalah sosok yang sangat tertutup dan tidak ingin di kenal oleh manusia. Hal ini bisa dilihat dari salah satu doa beliau, “Ya Allah aku mohon kepada-Mu agar makhluk berpaling dariku sehingga tidak ada tempat kembali bagiku selain kepada-Mu“. Allah swt. pun akhirnya mengabulkan permohonan beliau tersebut dan karena sangat ketertutupannya itu sampai tidak ada yang mengenal beliau kecuali waliyullah Syeikh Abu al Hasan as-Syadzili.

Perkenalan dan pertemuan agung beliau dengan muridnya, Syeikh Abu al Hasan as Syadzili, berawal saat Syeikh Abul Hasan, yang saat itu dipuncak perasaan yang dahsyat untuk bertaqarrub kepada Allah swt. berharap hatinya penuh cahaya ma’rifatullah, mengembara mencari Mursyid yang Quthub. Sampailah beliau ke negeri para wali di Irak. Dari satu wali ke wali lain yang beliau temui belum juga membuatnya puas sebelum bertemu dengan seorang wali quthub  di zaman itu. Padahal dari Maroko Syeikh Abul Hasan menembus ribuan kilometer menuju Irak, mengarungi padang sahara yang luar bisaa luasnya, demi mencapai cita-citanya yang luhur.

Akhirnya beliau bertemu dengan salah seorang wali di Irak. ketika itu sang wali yang beliau temui berkata kepadanya: “Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh-jauh sampai di sini. Padahal orang yang engkau cari itu sebenarnya di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah Quthubuz zaman yang agung saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling di negeri ini. Saat ini beliau sedang berkhalwat di puncak gunung di sebuah gua. Temuilah beliau dan cari disana…!”

Setelah itu beliau bergegas menuju Maroko dan kembali ke desanya Ghamarah, tempat dimana beliau dilahirkan. Hatinya tak terbendung untuk segera bertemu dengan Sang Quthub yang menetap dipucuk gunung (jabal al ‘alam) itu. Ketika menempuh jalan berliku menuju puncak gunung itu Syeikh Abul Hasan akhirnya bertemu juga dengan Sang Quthub tersebut. Kemudian Sang Quthub (Maulay Abdussalam bin Masyisy) memerintahkannya berkali-kali untuk mandi didekat gua yang kebetulan ada air untuk mandi dan berwudlu, hingga beliau sadar bahwa perintah tersebut untuk mensucikan diri dari hal-hal yang berkaitan dengan keangkuhan dan kesombongan.

Lalu saat beliau keluar dari bersuci dan menghadap dalam keadaan faqir, dari arah gua itu muncul sosok yang tampak lanjut usia dengan pakaian yang sederhana, dan dengan songkok dari anyaman jerami Seraya berkata, “Marhaban Wahai Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar, dst.. dengan menyebut nasab Syeikh Abul Hasan sampai ke Rasulullah saw.”.

Mendengar itu semua Syeikh Abul Hasan semakin takjub. Belum sempat mengeluarkan kata, Sang Quthub itu melanjutkan, “Wahai Ali, engkau datang kepadaku sebagai fakir baik dari segi ilmu maupun amalmu, maka engkau akan mengambil dariku semua kekayaan, dunia hingga akhirat”. Bahkan beliau melanjutkan, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rasulullah saw.  telah memberi tahu kepadaku segala hal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu hari ini. Selain itu aku juga mendapatkan tugas dari beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepadamu. Oleh sebab itu ketahuilah bahwa kedatanganku kemari sengaja untuk menyambutmu…”. (lihat: al Quthb as Syahid Sidi Abdussalam bin Masyisy karya Imam Abdul Halim Mahmud: 16)

Begitulah sedikit gambaran tentang Sang ”Quthbul Aqthab” atau “Al Ghouts”, Maulay Abdussalam bin Masyisy. Beliau adalah Abdussalam bin Masyisy bin Malik bin Ali bin Harmalah bin Salam bin Mizwar bin Haidarah bin Muhammad bin Idris al-Akbar bin Abdullah al-Kamil bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sabth bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra putri Rasulullah saw.. Lahir pada tahun 559 H bertepatan dengan 1198 M. lahir pada tahun 559 H bertepatan dengan 1198 M dan wafat pada tahun 622 H (1261 M).

Semasa hidupnya beliau memiliki kesungguhan dan kemauan yang keras dalam menuntut ilmu serta menjaga awrad (baca’an-bacaan zikir dan doa) hingga sampai kepada jalan menuju makrifah kepada Allah swt.. Dalam bidang ilmu pengetahuan salah satunya beliau berguru pada Syeikh Ahmad yang di juluki “Aqtharaan”, dimakamkan di daerah Abraj dekat pintu Tazah. Dalam bidang tasawuf di antara para gurunya adalah Syeikh Abdurrahman bin Hasan al-’Aththar yang terkenal dengan “az-Ziyyaat”. Dari beliau Ibnu Masyisy belajar tentang ilmu mua’amalah (interaksi sosial) dengan masyarakat yang sumbernya berakhlak sesuai dengan akhlak baginda Rasulullah saw..

Meski tidak banyak meninggalkan karangan, namun salah satu warisan yang sangat penting dan berharga dari beliau adalah  teks “Shalawat Masyisyiah”, yaitu sebuah shalawat yang jika kata-katanya berbaur atau di ucapkan oleh ruh maka akan membuat pemilik ruh tersebut terasa melayang di udara dari keluhuran dan keindahan alam malakut. Shalawat yang memiliki banyak rahasia dan keutamaan serta mampu memberikan pancaran cahaya Ilahi bagi para pengamalnya.

Adalah merupakan anugrah bagi penulis ketika bisa menziarahi makam beliau ”Quthbul Aqthab”, Maulay Abdussalam bin Masyisy. Tepat pada hari selasa, 16 April 2013 penulis ikut dalam rombongan Abuya Syeikh Nuruddin Marbu al Banjari yang kebetulan sedang di Maroko dan berniatan ziarah ke makam tersebut.

Allahumma shalli ‘alaa man minhun syaqqatil asraar, wan falaqatil anwaar, wa fiihi irtaqatil haqaaiq, wa tanazallat ‘uluumu sayyidinaa aadama fa a’jazal khalaaiq, wa lahu tadhaa-alatil fuhuumu falam yudrikhu minnaa saabiqun wa laa laahiq, fariyaadhul malakuuti bizahri jamaalihi muuniqah, wahiyaadhul jabaruuti bifaidhi anwaarihi mutadafiqah, walaa syai-a illa wahuwa bihi manuuth, idz laulal waasithatu ladzahaba kamaa qiilal mausuuth, shalaatan taliiqu bika minka ilaihi kamaa huwa ahluh.

Allahumma innahu sirrukal jaami’ ad daallu ‘alaik, wahijaabukal a’zhamu al qaaimu laka baina yadaik. Allahumma alhiqnii binasabih, wa haqqiqnii bi hasabih, wa ‘arrifnii iyyahu ma’rifatan aslamu bihaa min mawaaridil jahli, wa akra’u bihaa min mawaaridil fadhli, wahmilnii ‘alaa sabiilihi ila hadhratik, hamlan mahfuufan binushratik. Waqdzif bii ‘alal baathili fa-admaghahu, wa zujja bii fii bihaaril ahadiyyah, wansyulnii min awhaalit tauhiid, wa aghriqnii fii ‘aini bahril wahdah hatta laa araa wa laa asma’a wa laa ajida wa laa uhissa illaa bihaa.

Waj’alil hijaabal a’zhama hayaata ruuhii, wa ruuhahu sirra haqiiqatii, wa haqiiqatahu jaami’a ‘awaalimi bitahqiiqil haqqil awwali Yaa awwalu Yaa aakhiru Yaa zhaahiru Yaa baathin, isma’ nidaa-ii bimaa sami’ta bihi nidaa-a ‘abdika Zakariyya, wanshurnii bika laka, wa ayyidnii bika laka, wajma’ bainii wa bainaka, wa hul baini wabaina ghairika.

Allah, Allah, Allah, innalladzii faradha ‘alaikal qur’aan laraadduka ilaa ma’aad..Rabbanaa aatinaa min ladunka rahmah, wahayyi’lanaa min amrinaa rasyadaa.

Innallaaha wamalaaikatahu yushalluuna ‘alan-nabiyy, yaa ayyuhalladziina aamanuu shalluu ‘alaihi wa sallimuu tasliima.

Wallahua’lam bisshawab.

Kenitra, 24 April 2013
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Kemajuan Sebuah Bangsa


Oleh: Ali Syahbana*

Tepat pada Jum’at malam (05/04) penulis berkesempatan menghadiri acara silaturahmi dan sarasehan atau diskusi bersama KH. Sholahudin Wahid yang bisaa dipanggil ‘Gus Sholah’ di Wisma Duta RI untuk Kerajaan Maroko. Gus Sholah sendiri sepaham penulis saat itu kebetulan sedang ‘mampir’ atau mengadakan kunjungan muhibah disela-sela perjalanannya menuju Spanyol bersama satu tim rombongan dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Boleh dibilang, termasuk hal menarik untuk diketengahkan adalah ‘oleh-oleh’ beliau tentang potret bangsa Indonesia saat ini yang tentunya bisa menjadi bahan acuan bagi mahasiswa Indonesia di Maroko ketika ingin ambil bagian dalam proyek menjadi agen perubahan.

Dalam pemaparannya beliau menjelaskan bahwa adanya kemajuan yang dialami bangsa Indonesia beberapa tahun kebelakang merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri. Namun, kita juga tidak bisa mengelak jika faktanya masih jauh tertinggal oleh Negara-negara tetangga, termasuk Malaysia.

Dalam hal kesejahteraan rakyat misalnya, bisa dikatakan bangsa Indonesia masih terpuruk. Sebab bila dikalkulasikan dengan standar pendapatan dunia, yaitu 2 USD/hari, maka sebanyak lebih kurang 117 juta rakyat Indonesia masuk dalam radar kemiskinan. Berbeda jika dibandingkan dengan Malaysia misalkan yang hanya 7 % (sekitar 2 juta rakyat miskin) dari 30 jutaan jumlah penduduk. Atau dengan China yang hanya sekitar 10 % (sekitar 150 juta rakyat miskin) dari 1,4 milyar jumlah penduduk.

Selain itu, pemasukan dana pajak yang belum memadai dan maksimal juga merupakan sebab ketertinggalan bangsa Indonesia. Buruknya pengelolaan dan adanya keringanan terhadap pengusaha-pengusaha dengan tanpa imbalan yang memadai menjadikan kemajuan negri ini tersendat. Meskipun pada akhirnya pemerintah menaikkan biaya pajak bagi para pengusaha, tetap saja masih belum memberikan hasil yang signifikan.

Disektor pendidikan pun demikian. Ketertinggalan standar kompetensi dengan negara-negara tetangga. Ditambah orientasi pendidikan yang ‘mentok’ pada pengajaran, dalam artian hanya berhenti pada penyalurkan ilmu saja lalu lepas tangan dan bukan pada hakikat pendidikan yang berwujud nilai output dalam laku keseharian, menjadi hal yang menarik untuk disikapi dan ditindaklanjuti.

Hanya saja, poros utama dalam kemandegan perkembangan bangsa Indonesia menurut beliau ialah masih lemahnya penegakan hukum. Adanya tekak-tekuk hukum yang menahun serta penegakkan hukum yang tidak setegak-tegaknya bisa dilihat oleh rakyat jelata dalam fenomena-fenomena yang ada. Ditambah lagi birokrasi pemerintah yang terkadang jauh dari nilai-nilai pancasila yang tidak hanya dibicarakan tapi jauh lebih perlu untuk diamalkan, seperti terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lalu jika keadaannya seperti ini, bagaimana agar bangsa Indonesia tetap mampu melesat maju??

Tentunya untuk menuju perubahan dan kemajuan tersebut perlu dimulai dari tiap-tiap individu masyarakat. Penanaman sikap jujur misalkan perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga apabila karakter tersebut telah melekat dalam diri masing-masing, bisa dilebarkan cakupannya terhadap keluarga, lembaga-lembaga, bahkan partai-partai politik yang sedikit banyaknya bisa memberikan pengaruh pada perubahan dan kemajuan bangsa. Meskipun hakekatnya kebanyakan partai politik tidak ada yang benar-benar atas nama rakyat, tapi lebih pada bagaimana modal yang keluar bisa berubah menjadi keuntungan atau mnimal balik modal sebagaimana teori perdagangan.

Disamping berangkat dari karakter tiap-tiap individu, juga perlu diterapkan dengan sebenar-benarnya perekonomian yang sesuai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Agar cita-cita untuk menyejahterakan rakyat serta memajukan sebuah bangsa bisa terwujud.

Walhasil, sependek yang penulis tangkap dari hal diatas, jika dikaitkan dengan rumusan dasar dalam islam tentu banyak kaidah-kaidah baik dari ayat al Qur’an ataupun Hadits yang salah satu esensinya menyatakan bahwa dengan manusia yang berakal, hati dan pikiran yang jernih lagi sehat akan bisa memberikan pengaruh pada pencapaian-pencapaian yang penuh maslahat. Dan tentunya sebuah kejujuran, keadilan, kearifan maupun ketidakserakahan berangkat dari kejernihan hati dan kesehatan akal pikiran.

Bukankah Tuhan yang maha bijaksana tidak akan merubah sebuah kenikmatan selagi manusia tidak merubah atau merusak tatanan kenikmatan itu dengan tidak mensyukuri dan memanfaatkannya dijalur yang semestinya?? Bukankah kerusakan dan kemerosotan kualitas sering disebabkan oleh kelakuan manusia itu sendiri??, Hanya saja Tuhan yang maha pemaaf sering memberikan dispensasi dan kemurahan. Wallahua’lam.

Kenitra, 09 April 2013

* ‘Santri’ di Universitas Ibnu Thufail Kenitra, Maroko.

»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...