Selasa, 18 Juni 2013

"Nisfu Sya'ban" dan Tradisi Kemasyarakatan

Oleh: Ali Syahbana

Nisfu Sya’ban merupakan istilah dimana bulan sya’ban berada dipertengahan, atau lebih tepatnya berada ditanggal 15. Adapun “malam nisfu sya’ban” adalah sebutan untuk malam ke 15 pada bulan tersebut.

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa malam nisfu sya’ban memiliki kemuliaan dan keutamaan agung dalam islam. Bahkan dalam “Tuhfatul akhwan” Syekh Ahmad bin Hijazi Syihabuddin al Fasyni as Syafi’i (w. 978 H) mengistilahkan malam tersbut dengan “malam pembebasan”, “malam berdoa”, “malam pengijabahan”, “malam pengampunan dan pembebasan dari api neraka”, dan lain-lain. Dan istilah malam pengijabahan atau pengabulan doa juga sesuai dengan apa yang dikemukakan Imam as Syafi'i rahimahullah dalam kitabnya al-Umm; "Telah sampai pada kami bahwa dikatakan: Sesungguhnya doa dikabulkan pada lima malam, yaitu malam jum'at, malam hari raya Idul Adha, malam hari raya 'Idul Fitri, malam pertama di bulan Rajab dan malam Nisfu Sya’ban."

Sedangkan dalam kitab “shahih”nya Imam Ibn Hibban meriwayatkan dari sahabat Mu'az bin Jabal radiallahu 'anhu bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Allah menjenguk datang kepada semua makhluk-Nya di malam nisfu sya'ban, maka diampuni segala dosa makhluk-Nya di malam nisfu sy'aban, kecuali orang yang menyekutukan Allah dan orang yang bermusuhan." Begitu juga dalam riwayat Imam Ahmad dengan redaksi tidak jauh berbeda yang sanad atau mata rantainya oleh Imam al Hafidz al Mundzir dikategorikan “layyin”, dalam arti bebas tidak begitu bermasalah. (lihat: Husnul Bayan fi Lailati an Nisfi min Sya’ban karya Syekh Muhaddits Abdullah bin Muhammad bin as Siddiq al Ghumari)

Sedikitnya, seperti itulah potret dasar kemuliaan dan keistimewaan malam nisfu sya’ban. Dalam tradisi kebanyakan masyarakat islam Indonesia baik didesa ataupun dikota, dipesantren atau diluar pesantren, dimushala-mushala dan tempat lainnya, malam tersebut banyak diisi dengan amalan-amalan positif seperti berdzikir, berdoa, membaca al Qur’an atau surat Yasin, dan ada juga (sebagaimana penulis pernah alami saat dipesantren) yang diisi dengan shalat sunah tasbih.

Pada intinya, apapun bentuk dan praktek amaliahnya tentu menghidupkan malam nisfu sya’ban, mengutip apa yang dikemukakan Syekh al Ghumari, sangat mustahab atau disunahkan. Terlebih kemuliaan dan keagungan malam tersebut telah jelas secara umum. Waba’du, semoga kita termasuk golongan yang memperoleh kemuliaan dan keberkahan malam nisfu sya’ban dengan menghidupkannya. Wallahua’lam bisshawab.


*Kenitra, 18 Juni 2011 (9 Sya’ban 1434 H)
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Selasa, 14 Mei 2013

Salah Kaprah Dibulan Rajab

Oleh: Ali Syahbana

Salah Kaprah, bagi sebagian dari kita yang belum mafhum boleh juga diartikan adanya ketidak-pasan akan penempatan sesuatu. Atau kalau mau merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah kaprah adalah kesalahan yang umum sekali sehingga orang tidak merasakan sebagai kesalahan. Menjadi umum karena sebuah kesalahan telah melalui proses pemakaian yang luas.

“Salah Kaprah dibulan Rajab” pada akhirnya bisa digambarkan adanya ketidak-pasan amaliah manusia dibulan tersebut. Atau ada ketidak-sesuaian pemahaman sebagian kelompok terhadap bulan tersebut. Atau bisa juga ada kekeliruan-kekeliruan umum lainnya yang tidak terasa terjadi.

Contoh ‘basi’nya; Ada sebagian kelompok yang keukeuh menyatakan bid’ah bagi pelaku puasa di bulan Rajab. Bahkan tidak tanggung-tanggung ulama kaliber -Allah yarham- Imam Ibnu Hajar dijadikan sandaran penguat dalam berargumen. Beliau, Ibnu Hajar rahimahullah, dalam kitab “Tabyinul Ujub bi Ma Warada fi Fadli Rajab” mengatakan; “Tidak terdapat riwayat yang sahih yang bisa dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, baik bentuknya puasa sebulan penuh, puasa di tanggal tertentu di bulan Rajab, atau shalat tahajud di malam tertentu. Keterangan saya ini telah didahului oleh keterangan Imam Abu Ismail Al-Harawi.”

Serasa kurang afdhal, argument mereka pun diperkuat lagi dengan statemen -Allah yarham- Imam Ibnu Rajab dalam “Lathaiful Ma’arif” yang menegaskan; “Tidak ada satu pun hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan, ‘Di surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di bulan Rajab.’ Namun, riwayat ini bukan hadis. Imam Al-Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah, ‘Abu Qilabah termasuk tabi’in senior. Beliau tidak menyampaikan riwayat itu, melainkan hanya kabar tanpa sanad’”.

Ungkapan dua ulama diatas memberikan pemahaman bahwa memang tidak ada sandaran valid yang secara khusus mengarah pada kebolehan berpuasa dibulan Rajab. Namun, terlalu terburu-buru juga jika hal tersebut menjadikan klaim bid’ah terlontar begitu saja. Tidakkah mereka menelaah juga pendapat ulama yang juga kredibel, Imam As Syaukani rahimahullah yang mengatakan; “Bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) itu cukup menjadi hujjah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.”

Jika demikian, patutlah keutamaan berpuasa pada bulan haram yang disabdakan kanjeng Nabi: “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan  Rajab).” HR Imam Muslim menjadi pembebas dari klaim bid’ah dan ke-salah kaprahan.

Imam Al-Ghazali rahimahullah dalam Ihya’ Ulumiddin pun berkomentar bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan beliau menyatakan bahwa Rajab terkategori Al-Asyhur Al-Fadhilah dan Al-Asyhur Al-Hurum di samping Dzulhijah, Muharram dan Sya’ban.

Contoh lainnya; ada pelaku puasa dibulan Rajab yang disebabkan ‘iming-iming’ bahwa puasa sehari seakan puasa setahun, puasa 7 hari pintu jahanam tertutup untuknya, dan seterusnya, dan sebagainya. Bila hal tersebut menjadi tujuan dan bahkan keyakinan, maka, sependendek pemahaman penulis, ini juga sebuah ke-salah kaprahan. Mengapa?? Sebab semua riyawat yang menyatakan hal tersebut berstatus lemah dan tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Dan terlalu lebar jika riwayat-riwayat tersebut harus dibeberkan disini, cukuplah ungkapan pakar hadits caliber Imam Ibnu Hajar diatas menjadi isyaratnya.

Terakhir, mestinya bagi kelompok yang gemar memberikan ‘stempel’ bid’ah mampu lebih bijak dan obyektif lagi sebelum mengambil keputusan. Terlebih yang pemahamannya belum sampai taraf ulama atau kyai, dalam artian masih sekedar ikut-ikutan nyetempel. Dan bagi pelaku puasa penulis ucapkan selamat menjalankan ibadah puasanya, selamat menuai keberkahan dan kemuliaan bulan Rajab. Berpuasalah tanpa ‘embel-embel’ karena ini dan itu, tapi semata-mata mengharap ridha Allah swt.. Wallahua’lam bisshawab.

Kenitra, 14 Mei 2013

»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Minggu, 12 Mei 2013

Kisah Dimalam Minggu dan Pengajian Kaum Urakan


Oleh: Ali Syahbana

Ini cerita dimana penulis sendiri tidak pernah mengira-ngira keterjadiannya sebelumnya. Berawal saat lagi ‘iseng’ refreshing menonton pertandingan Liga Spanyol di café dekat kontrakan, tiba-tiba pelayan café yang memang sudah saling paham mengajak dan mengharap penulis ikut makan malam dirumahnya.

“Syuff, tamsyi ta’assya ma’ana, ma’a drary (Mau ga’ makan malem bareng temen-temen)?”, tawarnya.
“Daba (Sekarang)?? Feyn blaiss (Dimana lokasinya)??, tanyaku.
“Qreeb..’Ain Sba’ (Dekat, di ‘Ain Sba’, sekitar 5 km dari cafe)”, jawabnya.
“Syal min saa’a nabqa tsammah wa kayfasy rujuu’ (Berapa lama disana, trus gimana saya pulangnya)?”, tanyaku lagi.
“Sa’ah au sa’atain. Tamsyi ma’aya bi motor marhaba au tamsyi ma’a drary bi tonobil masyi musykil, wa tarji’ ma’ahum bi tonobil (Sejam dua jaman lamanya. Jalan bareng saya pake motor silakan atau sama temen-temen pake mobil juga ga’ masalah, nanti pulang dengan mereka naik mobil)”, jawabnya lagi.

Dan setelah lobi transaksi, kata ‘deal’ untuk hadir pun terputusi. Penulis pun ‘cuek’ dengan sandangan sarung dan kaos lengan panjang, sebab sudah menjadi kebiasaan sehari-hari saat keluar dekat kawasan kontrakan.

Sesampainya dilokasi penulis baru tahu bahwa dirumahnya lagi ada tasyakuran khitan salah satu anaknya. Suasana pun ramai dengan para tamu dari berbagai latar belakang, dari kelas ustadz sampai yang sedikit urak-urakan, yaitu teman-temannya yang biasa nongkrong di café sambil ngerokok. Dan sudah ma’lum dikalangan orang Maroko bahwa konotasi para perokok cenderung orang yang suka hura-hura sampai mabuk-mabukan.

Yang mungkin menarik diketengahkan, saat menjelang makan malam penulis ditempatkan diruangan khusus bersama teman-temannya yang kebanyakan urak-urakan tersebut. Tak ayal obrolan dan canda tawa pun terjadi. Dan entah iseng-iseng atau sengaja, salah satu dari mereka membuka obrolan tentang praktek keagamaan, yang ada di Maroko khususnya, hingga seolah ruangan menjadi medan diskusi atau mungkin pengajian. Pertama tentang umat islam yang dituntut manut Rasulullah saw. kenapa shalat taraweh berjamaah, padahal saat itu -katanya- beliau shalat sendirian. Di Indonesia sendiri -katanya- berapa jumlah shalat taraweh? 8 atau 23?.

Yang kedua tentang praktek salaman dan membaca Al Qur’an secara jamaah setelah shalat. Juga tentang penetapan awal puasa dan Idul Fitri. Beberapa permasalahan tersebut ada yang berbau bid’ah, katanya.

Tentu bila obrolan yang penulis alami dituangkan secara detil akan memakan banyak lembaran-lembaran yang justru bisa membuat jenuh pembaca. Secara garis besar, dengan pemahaman keagamaan yang terbatas, penulis salah satunya menanggapi bahwa untuk mengikuti kanjeng Nabi saw. bagi kita yang masih awam cukuplah mengikuti (taqlid) kepada ulama-ulama yang tersebar disetiap daerah. Apa pasal? Sebab apa yang disebarkan para ulama (atau kyai) sudah barang tentu sumbernya dari kanjeng Nabi saw. melalu jalur para sahabat beliau, tabi’in (generasi setelah sahabat), ulama empat madzhab, dan seterusnya.

Terkait masalah klaim bid’ah, memang ada sebagian kelompok yang kurang lengkap dalam menyampaikan pemahaman yang sesuai mayoritas ulama. Mereka hanya garang menyatakan; “setiap bid’ah atau perkara baru yang tidak dilakukan Rasulullah adalah sesat dan segala kesesatan nerakalah tempatnya”. Padahal mayoritas ulama yang tidak diragukan lagi kredibilitas dan kealimannya memberikan pemahaman bahwa bid’ah adalah hal baru yang tidak ada sandaran asalnya dari tatanan syariat, baik secara khusus ataupun umum.

Lagi pula, meminjam ta’bir Cak Nun, saat orang selesai shalat maka dia telah bebas, terserah mau melakukan hal apa saja. Jangankan salaman, kasarannya ‘beol’ setelah shalat juga sah-sah saja. Begitu juga baca Al Qur’an. Adakah nash yang tegas menyatakan pelarangan membacanya?? Jadi tidak juga menjadi masalah mau dibaca sendiri ataupun berjamaah, sebagaimana banyak ulama yang memperbolehkannya. Tinggal ikuti saja ulamanya. “Gitu aja ko’ repott!!”.

Sama halnya juga dengan penetapan awal puasa dan lebaran, kalau belum mampu ijtihad sendiri dalam menentukannya tinggal ikut saja ketetapan pemerintah setempat. Toh ketetapan tersebut juga berdasarkan ijtihad mayoritas ulama yang ada didalamnya. Kenapa harus persulit hal yang sebetulnya mudah??

Ala kulli hal, terlepas dari itu semuanya tentu hal ini menjadi PR bagi kita semua bahwa meskipun terbilang sepele ternyata masih banyak pemahaman-pemahaman keagamaan yang meminjam istilah Syekh Sayyid Muhammad Alawi al Maliki-nya masih “yajibu an tushohhah”. Dan hemat penulis ada baiknya juga jika kitab “Itqan as Sun’ah fi Tahqiq Ma’na al Bid’ah” karya Syekh Abdullah bin Muhammad bin Siddiq al Ghumari at Tanji al Maghribi serta kitab “Mafahim Yajibu an Tushahhah” karya Syekh Sayyid Muhammad Alawi al Maliki dikaji secara cermat dan khidmat. Wallahua’lam bisshawab.

Kenitra, 13 Mei 2013
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Rabu, 24 April 2013

Mengenal Maulay Adussalam bin Masyisy, ”Quthbul Aqthab” dari Maroko

Oleh: Ali Syahbana

Bagi kebanyakan ulama, bahkan masyarakat bisaa di Maroko, nama Maulay Adussalam bin Masyisy sudah tidak asing lagi ditelinga mereka. Beliau, sebagamana tercatat dalam kitab at Thabaqat as Syadziliyah al Kubro karangan Syekh Hasan bin Muhammad bin Qasim at Tazy, merupakan guru dari tiga wali quthub (pemimpin para wali), yaitu Syekh Ahmad al Badawi (murid wali quthub Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Syekh Ahmad Rifai), Syekh Ibrahim Ad Dusuqi dan Syekh Abu al Hasan Ali bin Abdillah as Syadzili (Pendiri tarekat Syadziliyah). Dari sini, sependek pengamatan penulis, beliau dalam dunia perwali-an masuk kategori “al Ghouts” yang berarti penuntun atau pembimbing kepada kebaikan dan kebagusan, khususunya dalam menuju makrifat kepada Allah swt., atau ”Quthbul Aqthab” (Pemimpinnya para pemimpin wali).

Maulay Abdussalam bin Masyisy dengan kedalaman ilmu dan kezuhudannya yang tinggi adalah sosok yang sangat tertutup dan tidak ingin di kenal oleh manusia. Hal ini bisa dilihat dari salah satu doa beliau, “Ya Allah aku mohon kepada-Mu agar makhluk berpaling dariku sehingga tidak ada tempat kembali bagiku selain kepada-Mu“. Allah swt. pun akhirnya mengabulkan permohonan beliau tersebut dan karena sangat ketertutupannya itu sampai tidak ada yang mengenal beliau kecuali waliyullah Syeikh Abu al Hasan as-Syadzili.

Perkenalan dan pertemuan agung beliau dengan muridnya, Syeikh Abu al Hasan as Syadzili, berawal saat Syeikh Abul Hasan, yang saat itu dipuncak perasaan yang dahsyat untuk bertaqarrub kepada Allah swt. berharap hatinya penuh cahaya ma’rifatullah, mengembara mencari Mursyid yang Quthub. Sampailah beliau ke negeri para wali di Irak. Dari satu wali ke wali lain yang beliau temui belum juga membuatnya puas sebelum bertemu dengan seorang wali quthub  di zaman itu. Padahal dari Maroko Syeikh Abul Hasan menembus ribuan kilometer menuju Irak, mengarungi padang sahara yang luar bisaa luasnya, demi mencapai cita-citanya yang luhur.

Akhirnya beliau bertemu dengan salah seorang wali di Irak. ketika itu sang wali yang beliau temui berkata kepadanya: “Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh-jauh sampai di sini. Padahal orang yang engkau cari itu sebenarnya di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah Quthubuz zaman yang agung saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling di negeri ini. Saat ini beliau sedang berkhalwat di puncak gunung di sebuah gua. Temuilah beliau dan cari disana…!”

Setelah itu beliau bergegas menuju Maroko dan kembali ke desanya Ghamarah, tempat dimana beliau dilahirkan. Hatinya tak terbendung untuk segera bertemu dengan Sang Quthub yang menetap dipucuk gunung (jabal al ‘alam) itu. Ketika menempuh jalan berliku menuju puncak gunung itu Syeikh Abul Hasan akhirnya bertemu juga dengan Sang Quthub tersebut. Kemudian Sang Quthub (Maulay Abdussalam bin Masyisy) memerintahkannya berkali-kali untuk mandi didekat gua yang kebetulan ada air untuk mandi dan berwudlu, hingga beliau sadar bahwa perintah tersebut untuk mensucikan diri dari hal-hal yang berkaitan dengan keangkuhan dan kesombongan.

Lalu saat beliau keluar dari bersuci dan menghadap dalam keadaan faqir, dari arah gua itu muncul sosok yang tampak lanjut usia dengan pakaian yang sederhana, dan dengan songkok dari anyaman jerami Seraya berkata, “Marhaban Wahai Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar, dst.. dengan menyebut nasab Syeikh Abul Hasan sampai ke Rasulullah saw.”.

Mendengar itu semua Syeikh Abul Hasan semakin takjub. Belum sempat mengeluarkan kata, Sang Quthub itu melanjutkan, “Wahai Ali, engkau datang kepadaku sebagai fakir baik dari segi ilmu maupun amalmu, maka engkau akan mengambil dariku semua kekayaan, dunia hingga akhirat”. Bahkan beliau melanjutkan, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rasulullah saw.  telah memberi tahu kepadaku segala hal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu hari ini. Selain itu aku juga mendapatkan tugas dari beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepadamu. Oleh sebab itu ketahuilah bahwa kedatanganku kemari sengaja untuk menyambutmu…”. (lihat: al Quthb as Syahid Sidi Abdussalam bin Masyisy karya Imam Abdul Halim Mahmud: 16)

Begitulah sedikit gambaran tentang Sang ”Quthbul Aqthab” atau “Al Ghouts”, Maulay Abdussalam bin Masyisy. Beliau adalah Abdussalam bin Masyisy bin Malik bin Ali bin Harmalah bin Salam bin Mizwar bin Haidarah bin Muhammad bin Idris al-Akbar bin Abdullah al-Kamil bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sabth bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra putri Rasulullah saw.. Lahir pada tahun 559 H bertepatan dengan 1198 M. lahir pada tahun 559 H bertepatan dengan 1198 M dan wafat pada tahun 622 H (1261 M).

Semasa hidupnya beliau memiliki kesungguhan dan kemauan yang keras dalam menuntut ilmu serta menjaga awrad (baca’an-bacaan zikir dan doa) hingga sampai kepada jalan menuju makrifah kepada Allah swt.. Dalam bidang ilmu pengetahuan salah satunya beliau berguru pada Syeikh Ahmad yang di juluki “Aqtharaan”, dimakamkan di daerah Abraj dekat pintu Tazah. Dalam bidang tasawuf di antara para gurunya adalah Syeikh Abdurrahman bin Hasan al-’Aththar yang terkenal dengan “az-Ziyyaat”. Dari beliau Ibnu Masyisy belajar tentang ilmu mua’amalah (interaksi sosial) dengan masyarakat yang sumbernya berakhlak sesuai dengan akhlak baginda Rasulullah saw..

Meski tidak banyak meninggalkan karangan, namun salah satu warisan yang sangat penting dan berharga dari beliau adalah  teks “Shalawat Masyisyiah”, yaitu sebuah shalawat yang jika kata-katanya berbaur atau di ucapkan oleh ruh maka akan membuat pemilik ruh tersebut terasa melayang di udara dari keluhuran dan keindahan alam malakut. Shalawat yang memiliki banyak rahasia dan keutamaan serta mampu memberikan pancaran cahaya Ilahi bagi para pengamalnya.

Adalah merupakan anugrah bagi penulis ketika bisa menziarahi makam beliau ”Quthbul Aqthab”, Maulay Abdussalam bin Masyisy. Tepat pada hari selasa, 16 April 2013 penulis ikut dalam rombongan Abuya Syeikh Nuruddin Marbu al Banjari yang kebetulan sedang di Maroko dan berniatan ziarah ke makam tersebut.

Allahumma shalli ‘alaa man minhun syaqqatil asraar, wan falaqatil anwaar, wa fiihi irtaqatil haqaaiq, wa tanazallat ‘uluumu sayyidinaa aadama fa a’jazal khalaaiq, wa lahu tadhaa-alatil fuhuumu falam yudrikhu minnaa saabiqun wa laa laahiq, fariyaadhul malakuuti bizahri jamaalihi muuniqah, wahiyaadhul jabaruuti bifaidhi anwaarihi mutadafiqah, walaa syai-a illa wahuwa bihi manuuth, idz laulal waasithatu ladzahaba kamaa qiilal mausuuth, shalaatan taliiqu bika minka ilaihi kamaa huwa ahluh.

Allahumma innahu sirrukal jaami’ ad daallu ‘alaik, wahijaabukal a’zhamu al qaaimu laka baina yadaik. Allahumma alhiqnii binasabih, wa haqqiqnii bi hasabih, wa ‘arrifnii iyyahu ma’rifatan aslamu bihaa min mawaaridil jahli, wa akra’u bihaa min mawaaridil fadhli, wahmilnii ‘alaa sabiilihi ila hadhratik, hamlan mahfuufan binushratik. Waqdzif bii ‘alal baathili fa-admaghahu, wa zujja bii fii bihaaril ahadiyyah, wansyulnii min awhaalit tauhiid, wa aghriqnii fii ‘aini bahril wahdah hatta laa araa wa laa asma’a wa laa ajida wa laa uhissa illaa bihaa.

Waj’alil hijaabal a’zhama hayaata ruuhii, wa ruuhahu sirra haqiiqatii, wa haqiiqatahu jaami’a ‘awaalimi bitahqiiqil haqqil awwali Yaa awwalu Yaa aakhiru Yaa zhaahiru Yaa baathin, isma’ nidaa-ii bimaa sami’ta bihi nidaa-a ‘abdika Zakariyya, wanshurnii bika laka, wa ayyidnii bika laka, wajma’ bainii wa bainaka, wa hul baini wabaina ghairika.

Allah, Allah, Allah, innalladzii faradha ‘alaikal qur’aan laraadduka ilaa ma’aad..Rabbanaa aatinaa min ladunka rahmah, wahayyi’lanaa min amrinaa rasyadaa.

Innallaaha wamalaaikatahu yushalluuna ‘alan-nabiyy, yaa ayyuhalladziina aamanuu shalluu ‘alaihi wa sallimuu tasliima.

Wallahua’lam bisshawab.

Kenitra, 24 April 2013
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Kemajuan Sebuah Bangsa


Oleh: Ali Syahbana*

Tepat pada Jum’at malam (05/04) penulis berkesempatan menghadiri acara silaturahmi dan sarasehan atau diskusi bersama KH. Sholahudin Wahid yang bisaa dipanggil ‘Gus Sholah’ di Wisma Duta RI untuk Kerajaan Maroko. Gus Sholah sendiri sepaham penulis saat itu kebetulan sedang ‘mampir’ atau mengadakan kunjungan muhibah disela-sela perjalanannya menuju Spanyol bersama satu tim rombongan dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Boleh dibilang, termasuk hal menarik untuk diketengahkan adalah ‘oleh-oleh’ beliau tentang potret bangsa Indonesia saat ini yang tentunya bisa menjadi bahan acuan bagi mahasiswa Indonesia di Maroko ketika ingin ambil bagian dalam proyek menjadi agen perubahan.

Dalam pemaparannya beliau menjelaskan bahwa adanya kemajuan yang dialami bangsa Indonesia beberapa tahun kebelakang merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri. Namun, kita juga tidak bisa mengelak jika faktanya masih jauh tertinggal oleh Negara-negara tetangga, termasuk Malaysia.

Dalam hal kesejahteraan rakyat misalnya, bisa dikatakan bangsa Indonesia masih terpuruk. Sebab bila dikalkulasikan dengan standar pendapatan dunia, yaitu 2 USD/hari, maka sebanyak lebih kurang 117 juta rakyat Indonesia masuk dalam radar kemiskinan. Berbeda jika dibandingkan dengan Malaysia misalkan yang hanya 7 % (sekitar 2 juta rakyat miskin) dari 30 jutaan jumlah penduduk. Atau dengan China yang hanya sekitar 10 % (sekitar 150 juta rakyat miskin) dari 1,4 milyar jumlah penduduk.

Selain itu, pemasukan dana pajak yang belum memadai dan maksimal juga merupakan sebab ketertinggalan bangsa Indonesia. Buruknya pengelolaan dan adanya keringanan terhadap pengusaha-pengusaha dengan tanpa imbalan yang memadai menjadikan kemajuan negri ini tersendat. Meskipun pada akhirnya pemerintah menaikkan biaya pajak bagi para pengusaha, tetap saja masih belum memberikan hasil yang signifikan.

Disektor pendidikan pun demikian. Ketertinggalan standar kompetensi dengan negara-negara tetangga. Ditambah orientasi pendidikan yang ‘mentok’ pada pengajaran, dalam artian hanya berhenti pada penyalurkan ilmu saja lalu lepas tangan dan bukan pada hakikat pendidikan yang berwujud nilai output dalam laku keseharian, menjadi hal yang menarik untuk disikapi dan ditindaklanjuti.

Hanya saja, poros utama dalam kemandegan perkembangan bangsa Indonesia menurut beliau ialah masih lemahnya penegakan hukum. Adanya tekak-tekuk hukum yang menahun serta penegakkan hukum yang tidak setegak-tegaknya bisa dilihat oleh rakyat jelata dalam fenomena-fenomena yang ada. Ditambah lagi birokrasi pemerintah yang terkadang jauh dari nilai-nilai pancasila yang tidak hanya dibicarakan tapi jauh lebih perlu untuk diamalkan, seperti terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lalu jika keadaannya seperti ini, bagaimana agar bangsa Indonesia tetap mampu melesat maju??

Tentunya untuk menuju perubahan dan kemajuan tersebut perlu dimulai dari tiap-tiap individu masyarakat. Penanaman sikap jujur misalkan perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga apabila karakter tersebut telah melekat dalam diri masing-masing, bisa dilebarkan cakupannya terhadap keluarga, lembaga-lembaga, bahkan partai-partai politik yang sedikit banyaknya bisa memberikan pengaruh pada perubahan dan kemajuan bangsa. Meskipun hakekatnya kebanyakan partai politik tidak ada yang benar-benar atas nama rakyat, tapi lebih pada bagaimana modal yang keluar bisa berubah menjadi keuntungan atau mnimal balik modal sebagaimana teori perdagangan.

Disamping berangkat dari karakter tiap-tiap individu, juga perlu diterapkan dengan sebenar-benarnya perekonomian yang sesuai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Agar cita-cita untuk menyejahterakan rakyat serta memajukan sebuah bangsa bisa terwujud.

Walhasil, sependek yang penulis tangkap dari hal diatas, jika dikaitkan dengan rumusan dasar dalam islam tentu banyak kaidah-kaidah baik dari ayat al Qur’an ataupun Hadits yang salah satu esensinya menyatakan bahwa dengan manusia yang berakal, hati dan pikiran yang jernih lagi sehat akan bisa memberikan pengaruh pada pencapaian-pencapaian yang penuh maslahat. Dan tentunya sebuah kejujuran, keadilan, kearifan maupun ketidakserakahan berangkat dari kejernihan hati dan kesehatan akal pikiran.

Bukankah Tuhan yang maha bijaksana tidak akan merubah sebuah kenikmatan selagi manusia tidak merubah atau merusak tatanan kenikmatan itu dengan tidak mensyukuri dan memanfaatkannya dijalur yang semestinya?? Bukankah kerusakan dan kemerosotan kualitas sering disebabkan oleh kelakuan manusia itu sendiri??, Hanya saja Tuhan yang maha pemaaf sering memberikan dispensasi dan kemurahan. Wallahua’lam.

Kenitra, 09 April 2013

* ‘Santri’ di Universitas Ibnu Thufail Kenitra, Maroko.

»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...