Oleh: Ali Syahbana
Bagi kebanyakan ulama, bahkan masyarakat bisaa di Maroko, nama Maulay
Adussalam bin Masyisy sudah tidak asing lagi ditelinga mereka. Beliau,
sebagamana tercatat dalam kitab at Thabaqat as Syadziliyah al Kubro karangan
Syekh Hasan bin Muhammad bin Qasim at Tazy, merupakan guru dari tiga wali quthub
(pemimpin para wali), yaitu Syekh Ahmad al Badawi (murid wali quthub Syekh
Abdul Qadir al-Jailani dan Syekh Ahmad Rifai), Syekh Ibrahim Ad Dusuqi dan Syekh
Abu al Hasan Ali bin Abdillah as Syadzili (Pendiri tarekat Syadziliyah). Dari
sini, sependek pengamatan penulis, beliau dalam dunia perwali-an masuk kategori
“al Ghouts” yang berarti penuntun atau pembimbing kepada kebaikan dan
kebagusan, khususunya dalam menuju makrifat kepada Allah swt., atau ”Quthbul
Aqthab” (Pemimpinnya para pemimpin wali).
Maulay Abdussalam bin Masyisy dengan kedalaman ilmu dan kezuhudannya
yang tinggi adalah sosok yang sangat tertutup dan tidak ingin di kenal oleh
manusia. Hal ini bisa dilihat dari salah satu doa beliau, “Ya Allah aku mohon
kepada-Mu agar makhluk berpaling dariku sehingga tidak ada tempat kembali
bagiku selain kepada-Mu“. Allah swt. pun akhirnya mengabulkan permohonan beliau
tersebut dan karena sangat ketertutupannya itu sampai tidak ada yang mengenal
beliau kecuali waliyullah Syeikh Abu al Hasan as-Syadzili.
Perkenalan dan pertemuan agung beliau dengan muridnya, Syeikh Abu al
Hasan as Syadzili, berawal saat Syeikh Abul Hasan, yang saat itu dipuncak
perasaan yang dahsyat untuk bertaqarrub kepada Allah swt. berharap
hatinya penuh cahaya ma’rifatullah, mengembara mencari Mursyid yang Quthub.
Sampailah beliau ke negeri para wali di Irak. Dari satu wali ke wali lain yang
beliau temui belum juga membuatnya puas sebelum bertemu dengan seorang wali
quthub di zaman itu. Padahal dari Maroko
Syeikh Abul Hasan menembus ribuan kilometer menuju Irak, mengarungi padang
sahara yang luar bisaa luasnya, demi mencapai cita-citanya yang luhur.
Akhirnya beliau bertemu dengan salah seorang wali di Irak. ketika itu
sang wali yang beliau temui berkata kepadanya: “Wahai anak muda, engkau mencari
Quthub jauh-jauh sampai di sini. Padahal orang yang engkau cari itu sebenarnya
di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah Quthubuz zaman yang agung saat
ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah
berkeliling di negeri ini. Saat ini beliau sedang berkhalwat di puncak gunung
di sebuah gua. Temuilah beliau dan cari disana…!”
Setelah itu beliau bergegas menuju Maroko dan kembali ke desanya
Ghamarah, tempat dimana beliau dilahirkan. Hatinya tak terbendung untuk segera bertemu
dengan Sang Quthub yang menetap dipucuk gunung (jabal al ‘alam) itu. Ketika
menempuh jalan berliku menuju puncak gunung itu Syeikh Abul Hasan akhirnya
bertemu juga dengan Sang Quthub tersebut. Kemudian Sang Quthub (Maulay
Abdussalam bin Masyisy) memerintahkannya berkali-kali untuk mandi didekat gua
yang kebetulan ada air untuk mandi dan berwudlu, hingga beliau sadar bahwa
perintah tersebut untuk mensucikan diri dari hal-hal yang berkaitan dengan
keangkuhan dan kesombongan.
Lalu saat beliau keluar dari bersuci dan menghadap dalam keadaan
faqir, dari arah gua itu muncul sosok yang tampak lanjut usia dengan pakaian
yang sederhana, dan dengan songkok dari anyaman jerami Seraya berkata,
“Marhaban Wahai Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar, dst.. dengan menyebut nasab
Syeikh Abul Hasan sampai ke Rasulullah saw.”.
Mendengar itu semua Syeikh Abul Hasan semakin takjub. Belum sempat
mengeluarkan kata, Sang Quthub itu melanjutkan, “Wahai Ali, engkau datang
kepadaku sebagai fakir baik dari segi ilmu maupun amalmu, maka engkau akan
mengambil dariku semua kekayaan, dunia hingga akhirat”. Bahkan beliau
melanjutkan, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini,
Rasulullah saw. telah memberi tahu
kepadaku segala hal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu hari ini. Selain
itu aku juga mendapatkan tugas dari beliau agar memberikan pendidikan dan
bimbingan kepadamu. Oleh sebab itu ketahuilah bahwa kedatanganku kemari sengaja
untuk menyambutmu…”. (lihat: al Quthb as Syahid Sidi Abdussalam bin Masyisy
karya Imam Abdul Halim Mahmud: 16)
Begitulah sedikit gambaran tentang Sang ”Quthbul Aqthab” atau “Al
Ghouts”, Maulay Abdussalam bin Masyisy. Beliau adalah Abdussalam bin Masyisy
bin Malik bin Ali bin Harmalah bin Salam bin Mizwar bin Haidarah bin Muhammad
bin Idris al-Akbar bin Abdullah al-Kamil bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan
as-Sabth bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra putri Rasulullah saw.. Lahir
pada tahun 559 H bertepatan dengan 1198 M. lahir pada tahun 559 H bertepatan
dengan 1198 M dan wafat pada tahun 622 H (1261 M).
Semasa hidupnya beliau memiliki kesungguhan dan kemauan yang keras
dalam menuntut ilmu serta menjaga awrad (baca’an-bacaan zikir dan doa) hingga
sampai kepada jalan menuju makrifah kepada Allah swt.. Dalam bidang ilmu
pengetahuan salah satunya beliau berguru pada Syeikh Ahmad yang di juluki “Aqtharaan”,
dimakamkan di daerah Abraj dekat pintu Tazah. Dalam bidang tasawuf di antara
para gurunya adalah Syeikh Abdurrahman bin Hasan al-’Aththar yang terkenal
dengan “az-Ziyyaat”. Dari beliau Ibnu Masyisy belajar tentang ilmu mua’amalah (interaksi
sosial) dengan masyarakat yang sumbernya berakhlak sesuai dengan akhlak baginda
Rasulullah saw..
Meski tidak banyak meninggalkan karangan, namun salah satu warisan
yang sangat penting dan berharga dari beliau adalah teks “Shalawat Masyisyiah”, yaitu sebuah shalawat
yang jika kata-katanya berbaur atau di ucapkan oleh ruh maka akan membuat
pemilik ruh tersebut terasa melayang di udara dari keluhuran dan keindahan alam
malakut. Shalawat yang memiliki banyak rahasia dan keutamaan serta mampu
memberikan pancaran cahaya Ilahi bagi para pengamalnya.
Adalah merupakan anugrah bagi penulis ketika bisa menziarahi makam
beliau ”Quthbul Aqthab”, Maulay Abdussalam bin Masyisy. Tepat pada hari selasa,
16 April 2013 penulis ikut dalam rombongan Abuya Syeikh Nuruddin Marbu al
Banjari yang kebetulan sedang di Maroko dan berniatan ziarah ke makam tersebut.
Allahumma shalli ‘alaa man minhun syaqqatil asraar, wan falaqatil
anwaar, wa fiihi irtaqatil haqaaiq, wa tanazallat ‘uluumu sayyidinaa aadama fa
a’jazal khalaaiq, wa lahu tadhaa-alatil fuhuumu falam yudrikhu minnaa saabiqun
wa laa laahiq, fariyaadhul malakuuti bizahri jamaalihi muuniqah, wahiyaadhul
jabaruuti bifaidhi anwaarihi mutadafiqah, walaa syai-a illa wahuwa bihi manuuth,
idz laulal waasithatu ladzahaba kamaa qiilal mausuuth, shalaatan taliiqu bika
minka ilaihi kamaa huwa ahluh.
Allahumma innahu sirrukal jaami’ ad daallu ‘alaik, wahijaabukal
a’zhamu al qaaimu laka baina yadaik. Allahumma alhiqnii binasabih, wa haqqiqnii
bi hasabih, wa ‘arrifnii iyyahu ma’rifatan aslamu bihaa min mawaaridil jahli, wa
akra’u bihaa min mawaaridil fadhli, wahmilnii ‘alaa sabiilihi ila hadhratik,
hamlan mahfuufan binushratik. Waqdzif bii ‘alal baathili fa-admaghahu, wa zujja
bii fii bihaaril ahadiyyah, wansyulnii min awhaalit tauhiid, wa aghriqnii fii
‘aini bahril wahdah hatta laa araa wa laa asma’a wa laa ajida wa laa uhissa illaa
bihaa.
Waj’alil hijaabal a’zhama hayaata ruuhii, wa ruuhahu sirra
haqiiqatii, wa haqiiqatahu jaami’a ‘awaalimi bitahqiiqil haqqil awwali Yaa
awwalu Yaa aakhiru Yaa zhaahiru Yaa baathin, isma’ nidaa-ii bimaa sami’ta bihi
nidaa-a ‘abdika Zakariyya, wanshurnii bika laka, wa ayyidnii bika laka, wajma’
bainii wa bainaka, wa hul baini wabaina ghairika.
Allah, Allah, Allah, innalladzii faradha ‘alaikal qur’aan laraadduka
ilaa ma’aad..Rabbanaa aatinaa min ladunka rahmah, wahayyi’lanaa min amrinaa
rasyadaa.
Innallaaha wamalaaikatahu yushalluuna ‘alan-nabiyy, yaa ayyuhalladziina
aamanuu shalluu ‘alaihi wa sallimuu tasliima.
Wallahua’lam bisshawab.
Kenitra, 24 April 2013