Oleh: Ali Syahbana
Entah
seperti gatel atawa greget, rasanya kurang nikmat kalau gendhu-gendu rasa
(obrolan) dengan -sebut saja- ustadz Sidi* Sa'id as Seggaf yang penulis
alami dengan beberapa teman semalam (25/09/2012) tidak "digaruk"
hingga menjadi sebuah catatan yang manfaat atau tidaknya menjadi urusan-Nya. Yah
urusan-Nya, sebagaimana hak memberi hidayah bukan urusan seorang Muhammad tapi
mutlak hak perogratif-Nya. Ibaratnya meskipun jungkir balik, pontang panting, ngotot-ngotot
apalagi sampai maksa-maksa untuk ber-islam ala "dia", kalau
Dia tidak "kun" maka "fayakun" pun belum bisa nyusul.
Atau meminjam redaksi Qur'annya kurang lebih secara bebas seperti ini, "udah
lah, kamu khotbah khotbah aja, kalau mau ceramah ya ceramah aja, nulis nulis
aja, dapet hidayah apa engga bukan urusan dan hakmu tapi itu mutlak urusan,
bagian dan hak-Ku."
Sebelum
masuk lebih dalam, ada baiknya kalau penulis kenalkan lebih dulu sosok Sa'id as
Seggaf. Dia bukanlah salah satu ulama besar Maroko dan bukan juga keturunan
seorang raja. Dia hanya warga biasa Maroko yang kebetulan iseng penulis
jadikan "korban" dalam tulisan ini. Dia -seperti ceritanya- pernah
mengenyam pendidikan SMA sampai S1 di Damaskus, Syiria. Lalu hijrah untuk S2 di
Cairo, Mesir sebelum akhirnya melanjutkan S3 di Tetouan, Maroko, tempat
kelahirannya sendiri. Dan mungkin yang lebih menarik, dia memiliki istri warga
negara Indonesia asli Jawa Barat, salah satu hasil saat dia belajar di Cairo,
Mesir.
Sidi
Sa'id (bersama istri dan anaknya) malam itu kebetulan mampir disela-sela
perjalanannya menghadiri Resepsi Diplomatik HUT RI tahun ini di Wisma Duta,
Rabat. Setelah beberapa menit diawali mujamalah (obrolan 'basa basi'
untuk perkenalan dll), dalam obrolan semalam beliau banyak memaparkan
kekagumannya terhadap bangsa Indonesia. Hanya saja ketika bla bla bla menceritakan
indahnya Indonesia dan saat obrolan mulai memanas, beliau menyayangkan keadaan
ormas-ormas islam yang suka "ribet"
ngurusi hal-hal yang furu'iyyah (permasalahan-permasalahan kecil
yang kurang mendasar). Masalah-masalah seperti shalat qunutan atau
tidak, selesai shalat salaman atau tidak, dan lain sebagainya baginya
agar dibiarkan menjadi laku (amaliah) tiap-tiap individu, yang penting
tidak menyalahi konstitusi (ketetapan) syariat islam.
Justru
-menurutnya- yang lebih penting adalah bagaimana ormas-ormas seperti NU, Muhamadiyah,
Persis dan lainnya bersatu (berkerja sama), ikut andil gotong royong bagaimana membangun bangsa
Indonesia dari berbagai sektor. Sebab kalau hanya bagaimana menjadikan NU atau
Muhammadiya atau Persis semua rakyat Indonesia adalah merupakan hal yang
mustahil, bahkan menyalahi sunatullah (ketetapan Allah). Bukankah Allah
sendiri telah menciptakan semuanya dengan bermacam perbedaaan?? Agar dengan
perbedaan tersebut bisa saling mengenal, co-operatif, bekerjasama atau
saling bantu-membantu satu sama lain. Dan bukankah Allah Yang Maha Kuasa dalam
menyatukan, meng-islamkan, menyelaraskan umat manusia tidak menghendaki untuk
tidak berbeda-beda??
Yang
lebih ironis lanjutnya, saat beliau bergaul dengan berbagai komunitas Indonesia
di Mesir seolah ada pendidikan ta'assubiyah (fanatisme) yang "dikunyah"
secara tidak langsung oleh mahasiswa Indonesia disana. Yang dari ormas A melulu
berusaha meng-A-kan sesuatu dalam segala hal, baik materi maupun non-materi.
Yang dari kelompok B juga begitu, yang dari partai C juga begitu dan seterusnya
dan lain sebagainya.
Setelah
semakin lebar obrolan, penulis yang tau beliau dari tetouan pun iseng
menanyakan satu hal yang penulis sendiri kesengsem untuk mengorek
informasi lebih jauh akan pertanyaan tersebut. Dengan mantep penulis bertanya, "Saya
dapat info kalo antara kota tetouan dan chefchouen ada daerah bernama Jabal el
'Allam, disitu ada pesarehan Simbah Kyai Abdussalam ibn Basyisy, guru dari Simbah
Kyai Abu Hasan as Syadzili al Misri?" Beliau menjawab, "Betul. tapi
jalan untuk kesana bengkak bengkok sebab berada di perbukitan."
Dengan
semangat beliau melanjutkan jawabannya, "Tapi yang saya sayangkan ialah
banyak orang jadi "salah kaprah". Saya setuju untuk memuliakan ulama,
menziarahinya dan mengenali lebih dekat bagaimana kiprah dan teladannya. Tapi
kebanyakan orang awam menjadikan mereka sosok yang suci, meminta atau memohon
pada mereka (ulama yang telah wafat) saat berziarah. Ini yang "salah
kaprah" dan perlu kita luruskan. Dan hal ini juga banyak terjadi, tidak
hanya di Maroko, tapi juga di Indonesia saat saya berziarah ke sana kemari."
Sebetulnya
antara setuju dan tidak setuju dengan ulasan beliau, penulis hanya coba
menggaris bawahi bahwa Indonesia yang kompleks dan majemuk tentu butuh aksi
semua pihak untuk menjadikannya indah dan menawan. Tidak hanya sama-sama
membangun, tapi juga sama-sama menahan. Menahan untuk tidak menindas. Menahan
untuk tidak meng-kebiri titipan rakyat. Menahan untuk tidak korup, saling
sikut, dan lain sebagainya dan lain sebagainya.
Chukron
bizzaff sidi sa'id. Hakadza -'alal aqal- Indunisy dyalna. (Terima
kasih banyak Tuan Said. Seperi inilah -sedikitnya- Indonesia kami). Wallahua'lam.
Kenitra, 26 September 2012
*sidi adalah ungkapan lokal orang maroko yang berarti tuan atau "pak".
*sidi adalah ungkapan lokal orang maroko yang berarti tuan atau "pak".