Jumat, 12 September 2014

Haul dan Mbah Wahab

Oleh: Ali Syahbana

Pada malam jum’at, 11 September 2014 penulis berkesempatan ikut menghormati dan menghadiri haul ke-43 salah satu tokoh penting pun ulama kharismatik NU, KH. Abdul Wahab Hasbullah yang diselenggarakan oleh rekan-rekan PCINU Maroko dikota Kenitra. Acara yang hemat penulis sangat penting diadakan, pertama selain untuk menjaga dan melestarikan tradisi lokal Indonesia, juga sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan sekaligus mengais keberkahan kepada tokoh yang sudah tidak asing dikalangan Nahdliyin tersebut, menjadi istimewa sebab dihadiri bapak Duta Besar RI untuk kerajaan Maroko, Bpk. KH. Tosari Widjaya yang juga tokoh kesepuhan NU yang memiliki kedekatan sejarah dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah.

Haul sendiri merupakan istilah untuk peringatan satu tahun wafatnya seseorang. Biasanya yang diperingati adalah seorang kyai, tokoh kharismatik, sosok berpengaruh dalam masyarakat, atau tidak menutup kemungkinan juga orang tua, keluarga maupun kerabat. Haul digelar selain untuk mendoakan sosok atau tokoh yang telah wafat, juga mengenang dan mengambil hikmah dari laku keteladanan tokoh tersebut.

Bagi kalangan pesantren haul merupakan tradisi tahunan yang seakan wajib dilakukan. Kebanyakan peringatan haul disatukan dengan hari lahir (Harlah) pesantren atau hari-hari besar keagamaan seperti maulid nabi agung shallallahu’alaihi wasallam dan lain sebagainya. Singkatnya, Haul yang sudah menjadi tradisi lokal masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, bisa memberikan pancaran keberkahan dan nilai kemaslahatan baik di dunia dan akhirat bagi segenap kalangan yang hadir menghormati dan memperingati acara tersebut.

Ada beberapa hal yang menarik dicatat dari acara haul yang diisi dengan diskusi tentang biografi dan pengenalan lebih dekat terhadap sosok KH. Abdul Wahab Hasbullah serta wejangan dari bapak Duta Besar, setelah ritual pembacaan maulid dan doa bersama tersebut.

Pertama, KH. Abdul Wahab Hasbullah atau biasa dikenal dengan sebutan “mbah Wahab” adalah termasuk tokoh ulama kharismatik yang berjasa besar dalam merintis, mendirikan, menggerakkan, dan mengembangkan NU yang kini sebagai organisasi kemasyarakatan islam terbesar di Indonesia, bahkan di Dunia. Dalam kiprah perjalanan hidup beliau tentu banyak proses yang dilalui hingga menjadi tokoh besar dikalangan umat Indonesia, khususnya dilingkungan nahdliyin.

Sejak kecil mbah Wahab sudah digembleng dengan asupan pendidikan dalam lingkup keluarga, terutama pendidikan keagamaan baik secara teoritis maupun praktis. Bahkan selama kurang lebih 20 tahun sejak masa kecilnya, beliau secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Hal ini memberikan penekanan bahwa pendidikan dini dalam lingkup keluarga memberikan efek pondasi yang sangat kuat bagi kehidupan seseorang. Apalagi dizaman sekarang dengan kecanggihan dan perkembangan teknologi yang kadang membuat manusia lupa diri, lupa akan tujuan kehidupan yang hakiki.

Kedua, saat menimba ilmu di Mekkah penulis melihat adanya kesadaran tanggung jawab sosial dari tokoh yang lahir pada 31 Maret 1988 tersebut. Pengetahuan yang digali dan dikembangkan dinegeri tersebut tentunya harus dikembalikan dan di-ejawantahkan untuk berkhidmah demi kemaslahatan umat, lebih luas lagi untuk tanah air yang beliau cintai. Ini bisa dilihat dari aktivitas pergerakan beliau selepas kembali dari Mekkah dengan membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) pada 1914, selanutnya mendirikan wadah pengembang pendidikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah air) 1916, serta membentuk organisasi islam kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 bersama dan atas restu Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Ketiga, khazanah keilmuan yang beliau gali dan kembangkan dinegeri arab tidak serta merta menjadikan beliau lupa Indonesia. Dalam artian beliau tetap menjadi orang Indonesia tulen yang pernah mengenyam pendidikan di negera arab, tidak meng-arabisasi Indonesia baik secara pemahaman ataupun tradisi kemasyarakatan. Justu ilmu-ilmu yang beliau peroleh dielaborasikan dengan tradisi lokal yang ada dengan arif dan bijaksana. Sebagai contoh saat Al Irsyad, salah satu komunitas saat itu, yang dikomandoi KH. Ahmad Dahlan mempermasalahkan dan mebid’ahkan tradisi-tradisi lokal yang berkembang beliau maju membela tradisi tersebut dengan kedalaman dan kematangan keilmuan yang dimiliki.

Terlepas dari semua hal diatas dan tentu masih banyak lagi semangat keteladanan perjuangan mbah Wahab yang belum tercatat, mestinya momen haul ini bisa menjadi penggugah kita semua, khususnya kader-kader NU di Maroko agar bisa meneruskan cita dan perjuangan beliau. Dimulai dengan membekali diri dengan pemahaman keilmuan yang matang ditambah kesadaran akan tanggung tawab sosial untuk berkhidmah demi kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Termasuk bagaimana turut andil mengaktualisasikan ungkapan beliau yang juga PR kita bersama: “bagaimana menyebarkan gagasan NU secara lebih efektif dan efisien yang selama ini hanya dijalankan melalui dakwah dari panggung ke panggung dan pengajaran di pesantren.” Wallahua’lam bisshawab.

Kenitra, 11 September 2014
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...