Oleh: Ali Syahbana
Pada malam jum’at, 11
September 2014 penulis berkesempatan ikut menghormati dan menghadiri haul ke-43
salah satu tokoh penting pun ulama kharismatik NU, KH. Abdul Wahab Hasbullah
yang diselenggarakan oleh rekan-rekan PCINU Maroko dikota Kenitra. Acara yang
hemat penulis sangat penting diadakan, pertama selain untuk menjaga dan
melestarikan tradisi lokal Indonesia, juga sebagai bentuk penghormatan dan
penghargaan sekaligus mengais keberkahan kepada tokoh yang sudah tidak asing
dikalangan Nahdliyin tersebut, menjadi istimewa sebab dihadiri bapak Duta Besar
RI untuk kerajaan Maroko, Bpk. KH. Tosari Widjaya yang juga tokoh kesepuhan NU
yang memiliki kedekatan sejarah dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Haul sendiri merupakan
istilah untuk peringatan satu tahun wafatnya seseorang. Biasanya yang
diperingati adalah seorang kyai, tokoh kharismatik, sosok berpengaruh dalam
masyarakat, atau tidak menutup kemungkinan juga orang tua, keluarga maupun
kerabat. Haul digelar selain untuk mendoakan sosok atau tokoh yang telah wafat,
juga mengenang dan mengambil hikmah dari laku keteladanan tokoh tersebut.
Bagi kalangan
pesantren haul merupakan tradisi tahunan yang seakan wajib dilakukan.
Kebanyakan peringatan haul disatukan dengan hari lahir (Harlah) pesantren atau
hari-hari besar keagamaan seperti maulid nabi agung shallallahu’alaihi
wasallam dan lain sebagainya. Singkatnya, Haul yang sudah menjadi tradisi
lokal masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, bisa memberikan pancaran
keberkahan dan nilai kemaslahatan baik di dunia dan akhirat bagi segenap
kalangan yang hadir menghormati dan memperingati acara tersebut.
Ada beberapa hal yang
menarik dicatat dari acara haul yang diisi dengan diskusi tentang biografi dan
pengenalan lebih dekat terhadap sosok KH. Abdul Wahab Hasbullah serta wejangan
dari bapak Duta Besar, setelah ritual pembacaan maulid dan doa bersama
tersebut.
Pertama, KH. Abdul
Wahab Hasbullah atau biasa dikenal dengan sebutan “mbah Wahab” adalah
termasuk tokoh ulama kharismatik yang berjasa besar dalam merintis, mendirikan,
menggerakkan, dan mengembangkan NU yang kini sebagai organisasi kemasyarakatan
islam terbesar di Indonesia, bahkan di Dunia. Dalam kiprah perjalanan hidup
beliau tentu banyak proses yang dilalui hingga menjadi tokoh besar dikalangan
umat Indonesia, khususnya dilingkungan nahdliyin.
Sejak kecil mbah
Wahab sudah digembleng dengan asupan pendidikan dalam lingkup keluarga,
terutama pendidikan keagamaan baik secara teoritis maupun praktis. Bahkan selama
kurang lebih 20 tahun sejak masa kecilnya, beliau secara intensif menggali
pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Hal ini memberikan penekanan
bahwa pendidikan dini dalam lingkup keluarga memberikan efek pondasi yang
sangat kuat bagi kehidupan seseorang. Apalagi dizaman sekarang dengan
kecanggihan dan perkembangan teknologi yang kadang membuat manusia lupa diri,
lupa akan tujuan kehidupan yang hakiki.
Kedua, saat menimba
ilmu di Mekkah penulis melihat adanya kesadaran tanggung jawab sosial dari
tokoh yang lahir pada 31 Maret 1988 tersebut. Pengetahuan yang digali dan
dikembangkan dinegeri tersebut tentunya harus dikembalikan dan di-ejawantahkan
untuk berkhidmah demi kemaslahatan umat, lebih luas lagi untuk tanah air yang
beliau cintai. Ini bisa dilihat dari aktivitas pergerakan beliau selepas kembali
dari Mekkah dengan membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan
Pemikiran) pada 1914, selanutnya mendirikan wadah pengembang pendidikan
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah air) 1916, serta membentuk organisasi islam
kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 bersama dan atas restu Hadratusyaikh
KH. Hasyim Asy’ari.
Ketiga, khazanah
keilmuan yang beliau gali dan kembangkan dinegeri arab tidak serta merta
menjadikan beliau lupa Indonesia. Dalam artian beliau tetap menjadi orang
Indonesia tulen yang pernah mengenyam pendidikan di negera arab, tidak
meng-arabisasi Indonesia baik secara pemahaman ataupun tradisi kemasyarakatan.
Justu ilmu-ilmu yang beliau peroleh dielaborasikan dengan tradisi lokal yang
ada dengan arif dan bijaksana. Sebagai contoh saat Al Irsyad, salah satu
komunitas saat itu, yang dikomandoi KH. Ahmad Dahlan mempermasalahkan dan
mebid’ahkan tradisi-tradisi lokal yang berkembang beliau maju membela tradisi
tersebut dengan kedalaman dan kematangan keilmuan yang dimiliki.
Terlepas dari semua
hal diatas dan tentu masih banyak lagi semangat keteladanan perjuangan mbah
Wahab yang belum tercatat, mestinya momen haul ini bisa menjadi
penggugah kita semua, khususnya kader-kader NU di Maroko agar bisa meneruskan
cita dan perjuangan beliau. Dimulai dengan membekali diri dengan pemahaman
keilmuan yang matang ditambah kesadaran akan tanggung tawab sosial untuk
berkhidmah demi kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Termasuk bagaimana
turut andil mengaktualisasikan ungkapan beliau yang juga PR kita bersama: “bagaimana
menyebarkan gagasan NU secara lebih efektif dan efisien yang selama ini hanya
dijalankan melalui dakwah dari panggung ke panggung dan pengajaran di
pesantren.” Wallahua’lam
bisshawab.
Kenitra, 11 September 2014