Selasa, 13 November 2012

Catatan Sepuluh November


Oleh: Ali Syahbana

Sepuluh November bagi segenap rakyat Indonesia merupakan momen yang bersejarah. Sebab pada angka tersebut, tepatnya 10 November 1945, rakyat Indonesia ‘pontang-panting’ berjibaku mengorbankan keluarga dan nyawa demi mempertahankan  kemerdekaan Indonesia tercinta.

Adalah manuver dahsyat tentara Inggris, dengan sekitar 30000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perangnya, yang mengharuskan mereka kembali bersinggungan dengan ‘kawan lama’ bernama perang. Dan Alhamdulillah-nya, berkah rahmat Tuhan YME, melalui tekad dan kesatuan serta ikhtiar rakyat Indonesia, tanpa terkecuali santri-santri dibawah komando kyai-kyai kaliber KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya dan juga tokoh muda kaliber Bung Tomo, Surabaya pun selamat dari jajahan Inggris laknatullah ‘alaihim. Kemudian pejuang yang gugur pada momen tersebut, apapun latar belakang dan status sosialnya, mendapat ‘label’ Pahlawan.

Setelah itu, dengan penetapan Hari Pahlawan pada angka sepuluh tersebut, lambat laun term pahlawan menjadi ‘penyakit’ tahunan yang seakan selalu menarik untuk digali maknanya, di ‘pas-pasi’ esensinya dengan konteks kekinian, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, masih adakah pahlawan pasca generasi angkatan ‘Sepuluh November’ tersebut?

Kalau boleh ditarik benang merahnya, gelar pahlawan peristiwa 10 November lahir sebab rakyat ‘nekat’ mempertaruhkan nyawa, berani memperpendek nafas kehidupan, dan siap mati gasik, rela tulus ‘ngabdi’ tanpa pamrih demi satu tujuan mulia yaitu kesejahteraan bangsa Indonesia. Dari itu penulis pun setuju jika ada yang mengartikan pahlawan adalah seseorang yang berbakti kepada masyarakat, negara, bangsa dan atau umat manusia tanpa menyerah dalam mencapai cita-citanya yang mulia, sehingga rela berkorban demi tercapainya tujuan, dengan dilandasi oleh sikap tanpa pamrih pribadi. Bahkan jika definisi ini sudah menjadi ijma’ atau kesepakatan kolektif tentu sulit bagi kita untuk men-cap pahlawan terhadap siapapun.

Adapun pahlawan secara kamus bahasa kita ialah orang yang menonjol karna keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani. Maka orang yang berani membasmi virus korupsi secara kamus disebut pahlawan. Hakim yang tanpa pandang bulu membela kebenaran secara kamus juga disebut pahlawan. Pejabat yang gagah untuk tidak menindas rakyat lagi-lagi menurut kamus masuk kategori pahlawan.

Makna pahlawan jika boleh dipersempit lagi bisa berarti orang yang berjasa secara positif. Sehingga dari sini dipahami bahwa siapapun yang melakukan amaliah atau hal-hal positif masuk kategori pahlawan.  Kedua orang tua kita adalah pahlawan dengan jasa-jasa yang tak terkira. Kyai, ustadz atau guru juga pahlawan dengan ketulusan transfering anugrah ilmu yang diperolehnya. Yang ‘nyebrangi’ nenek-nenek di jalan raya, yang eksis menjaga kebersihan lingkungan, yang istiqamah menahan nafsu untuk ‘nguntit’ brangkas negara, dan sebagainya bisa dianggap pahlawan jika mengamalkan term makna sperti ini.

Namun, yang jauh lebih penting dan bahkan besar diharapkan dari semua teori tersebut adalah upaya tiap-tiap individu untuk mendongkrak jasa-jasa positif baik secara mikro maupun makro. Meneladani -sebagai manifestasi penghormatan dan penghargaan- amaliah hasanah pahlawan-pahlawan terdahulu. Dan bukan malah terkungkung dalam wacana kepahlawanan yang tak berujung. Wallahua’lam bisshawab.

* Tetouan, 12 November 2012.
* Pernah dimuat di: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40761-lang,id-c,kolom-t,Catatan+Sepuluh+November-.phpx
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Kamis, 08 November 2012

Lunturnya 'Maqasidu ad Da'wah'


Bebarapa waktu yang lalu penulis mendapati salah satu teman mengirimkan info di laman facebook. Isinya menarik, yaitu perihal penyelewengan pemahaman oleh seorang bernama Mahrus Ali.

Singkatnya, sosok yang karya-karya 'gendheng' nya oleh golongan islam radikal diberi embel-embel  "Mantan Kyai NU" itu telah mendiskreditkan citra Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia, dengan fitnahnya. Bahkan bahkan bisa mengancam eksistensi Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menganut ideologi Pancasila dan berasaskan Undang-undang Dasar 1945.

Salah satu 'adegan' konyol dari sosok yang sebenarnya bukan mantan kiai NU, apalagi pernah menjadi anggota atau menjabat di NU adalah adanya aksi 'nyunati' atau memotong pemahaman yang ada dalam kitab I'anatuth Thalibin, kitab Fiqh karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i, yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in.

Disini penulis tidak ingin memperpanjang cerita. Bagi penulis meskipun fenomena tersebut sudah 'basi' bertauhun-tahun, namun tetap saja menarik untuk diperhatikan. Terlebih hingga kini masih banyak -bahkan menjamur- fenomena serupa yang membuat 'risih' ketentraman bangsa.

Dan kalau mengatasnamakan dakwah, sejatinya menurut hemat penulis tindakan tersebut jauh dari 'Maqasidu ad Da'wah' atau esensi dari dakwah yaitu mengajak manusia untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala.

'Maqasidu ad Da'wah' atau cita-cita mulia dari kegiatan dakwah ini bisa teraih apabila kaedah dasar (minimal) 'bil hikmah wal mau'idzah al hasanah' teraplikasikan dengan baik. Bil-hikmah bisa berarti upaya 'ngajak' dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya dan dengan cara yang mudah dan bijaksana. Atau dengan perkataan yang jelas dan tegas disertai dengan dalil yang dapat mempertegas kebenaran, dan dapat menghilangkan keragu-raguan.

Sedang al mau'idzah al hasanah bisa berwujud nasihat, bimbingan, pendidikan atau pelajaran yang baik. Artinya dalam ber- mau'idzah  hasanah harus dengan kelembutan; tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan. Sebab, kelemahlembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar.

Resep ber-mau'idzah hasanah dengan kelembutan telah sukses dicontohkan nabi teladan kita, Muhammad saw., sebagaimana Al Qur'an menegaskan; "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu". (Ali Imran: 159).

Maka -lagi-lagi- jika ada model-model penyebar ajaran islam dengan cara sebagaimana gambaran diatas tentu jauh dari kata selaras dengan 'Maqasidu ad Da'wah'. Sebab, rumusan dasar yang sudah ditetapkan dalam Al Qur'an atau 'laku' kanjeng Nabi saw. yang pernah dicontohkan tidak tercermin sama sekali dalam tindakan tersebut diatas. Wallahua'lam bisshawab.

* Kenitra, 9 Nopember 2012
silakan lihat juga: http://agama.kompasiana.com/2010/12/16/membongkar-kebohongan-h-mahrus-ali-dan-rekayasa-busuk-wahabi/ 
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Jumat, 02 November 2012

Potret Menarik Cafe di Maroko


Secara mendasar, Cafe atau dalam 'lidah' Indonesia bisa diucap kafe biasanya diartikan tempat untuk menikmati secangkir minuman, kopi, teh, jus, dll. Kafe juga terkadang merupakan sumber inspirasi atau  tempat transaksi bisnis dan lobi-lobi.

Namun bagi kebanyakan orang di Indonesia, konotasi kafe identik dengan hal-hal yang berbau hura-hura, tempat hiburan kelas atas dengan sajian live music-nya atau tempat 'nongkrong' bagi kelas menengah ke atas. Sehingga bagi kalangan biasa-biasa saja, kafe seolah merupakan kawasan yang 'angker' untuk dijamah.

Kalau kita pernah mencicipi (meski melalui info-info dan liputan video) alam per-kafean beberapa negara Arab semisal Maroko, Tunis, Mesir dan lainnya,  boleh jadi akan lahir sebuah kesimpulan bahwa kafe di negara tersebut tak bedanya dengan warung-warung kopi (WarKop) dalam artian mampu dinikmati segala lapisan masyarakat.

Hal seperti itu juga terjadi di Maroko. Kafe di negara ini hampir menyentuh diberbagai daerah. Baik di jantung kota maupun pinggiran-pinggirannya. Baik ditempat obyek-obyek wisata ataupun tempat-tempat biasa. Bahkan banyak juga kafe yang berderet dipinggir-pinggir jalan hingga lebih dari satu kilo panjang barisannya.

Kafe di Maroko, selain mungkin setingan tempatnya tidak kalah menarik dengan kafe-kafe di Indonesia, sering difungsikan oleh masyarakatnya untuk 'nyantai' dan refresh. Kafe sering juga dibuat sebagai ajang transaksi bisnis, tempat belajar secara kelompok, bahkan sebagai sumber pencari referensi dengan fasilitas wifinya.

Yang menarik dan mungkin bikin 'ngangeni', kafe di Maroko selalu ramai jika ada pertandingan-pertandingan sepakbola. Dengan layar televise yang lebar, ditambah sound yang 'nangkring' disetiap sudutnya menjadikan masyarakat yang kebanyakan pecinta sepakbola betah menikmati jalannya pertandingan dengan 'cuma' modal secangkir kopi atau teh.

Terlebih jika ada partai-partai besar seperti 'el clasicco' (Madrid vs Barca), 'Derby Milano' (Inter vs Milan) atau partai-partai yang masuk babak knock out (system gugur) sampai final. Kafe menjadi penuh dan gemuruh. Nuansa kebersamaan seakan menenggelamkan kepenatan hidup yang kadang sumpek. Yel-yel sesekali hadir seolah menikmati pertandingan langsung di stadion aslinya.

Kafe di Maroko pada akhirnya bisa menjadi ajang 'kongkow' dengan bermacam motif dan kebutuhannya. Bisa sebagai wahana refreshing dengan pertandingan-pertandingan sepakbolanya bagi pecinta sepakbola. Bagi Pelajar bisa dijadikan ajang belajar bareng bahkan diskusi. Bisa juga untuk berbisnis bagi pebisnis. Untuk rapat bagi kalangan organisatoris, dan lain sebagainya dan lain seterusnya. Dengan tarif yang terjangkau bahkan murah, Kafe bagaimana kita memanfaatkan dan menikmatinya.

* Kenitra, 2 Nopember 2012
* Pernah dimuat di 
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,45-id,40608-lang,id-c,internasional-t,Warkop+di+Indonesia++Caf%C3%A9+di+Maroko-.phpx
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...