Jumat, 02 April 2010

Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Kedua di Ho Chi Minh City

Jumat, 12 Juni 2009 | 23:52 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com--Pemerintah Daerah Ho Chi Minh City, Vietnam, mengumumkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua secara resmi pada bulan Desember 2007, kata seorang diplomat Indonesia.

"Bahasa Indonesia sejajar dengan Bahasa Inggris, Prancis dan Jepang sebagai bahasa kedua yang diprioritaskan," kata Konsul Jenderal RI di Ho Chi Minh City untuk periode 2007-2008, Irdamis Ahmad di Jakarta pada Jumat.

Guna mengembangkan dan memperlancar studi Bahasa Indonesia, pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia di kota itu membantu berbagai sarana yang diperlukan beberapa universitas, kata Irdamis.

Sarana yang dibantu antara lain peralatan komputer, alat peraga, bantuan dosen dan bantuan keuangan bagi setiap kegiatan yang berkaitan dengan upaya promosi Bahasa Indonesia di wilayah kerja universitas masing-masing.

Perguruan tinggi itu juga mengadakan lomba pidato dalam Bahasa Indonesia, lomba esei tentang Indonesia dan pameran kebudayaan. Universitas Hong Bang, Universitas Nasional HCMC dan Universitas Sosial dan Humaniora membuka studi Bahasa Indonesia.

"Jumlah mahasiswa yang terdaftar sampai Nopember 2008 sebanyak 63 orang dan menurut universitas-universitas itu, minat untuk mempelajari Bahasa Indonesia cenderung meningkat," kata Irdamis.

Ia berpendapat sebagian pemuda Vietnam melihat adanya keperluan untuk mempelajari Bahasa Indonesia, mengingat kemungkinan meningkatnya hubungan bilateral kedua negara yang berpenduduk terbesar di ASEAN di masa depan.
(Sumber; www.kompas.com)

»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Hapal Alquran, Kuliah Gratis di IAIN Raden Fatah Hingga S2

Palembang,
Siapa saja yang hapal Alquran, dapat kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah Palembang hingga jenjang S2, secara gratis. Hapal Alquran itu hingga 30 juz. Jatah untuk siswa tamatan SMA atau sederajatnya ini sebanyak 200 kursi.

Demikian dikatakan Pembantu Rektor I IAIN, Prof Dr M Sirozi MA PhD di kampus IAIN Raden Fatah, Jalan Jenderal Sudirman Palembang, Senin (01/06/2009). Katanya, kesempatan tersebut dibuka seluas-luasnya bagi lulusan SMA/MAN.

Penilaian dilakukan dalam dua tahap, yakni melalui prestasi akademik yang dibuktikan dengan nilai raport minimal rata-rata 7 atau duduk sebagai rangking satu hingga lima di kelasnya.“Kalau pendaftaran melalui jalur PMDK, pembayaran tetap berlaku kecuali bila siswa memiliki kemampuan hapal Alquran," kata Sirozi.Metode hapal Alquran bukan sebatas membaca saja namun pengucapannya harus benar. Nantinya akan disediakan tim seleksi khusus bagi siswa yang masuk melalui program ini.

Batasan penilaian dibuktikan melalui sertifikat hapal Alquran dari lembaga berwenang. Selanjutnya baru dilakukan seleksi di tingkatan IAIN. Bentuk beasiswa, yakni bila hapal Alquran 10 juz maka diberikan penghargaan berupa beasiswa bebas SPP selama satu tahun. Lain halnya bila hapal Alquran 20 juz juga akan digratiskan SPP selama dua tahun. Puncaknya kalau siswa berani mengambil poin ketiga, yakni hapal Alquran hingga 30 juz, dengan senang hati pihak IAIN akan memberikan kesempatan kuliah hingga program S2 secara gratis. Selama yang bersangkutan tidak pindah kuliah di tempat lain.“Program ini sebagai bentuk penghargaan kita terhadap siswa yang berprestasi dalam hal penguasaaan Alquran,” kata Sirozi.

Pendaftaran bisa dilakukan secara koletif melalui sekolah atau siswa dengan mendatangi sekretariat panitia penerimaan siswa baru IAIN Raden Fatah Palembang. Selain penggratisan biaya kuliah, IAIN juga memberikan kesempatan bagi siswa yang terpilih menentukan fakultas sesuai minatnya sebelum ketersediaan daya tampung penuh."Pokoknya tiap kelas kita alokasikan 40 persen bagi siswa PMDK, Khusus untuk siswa yang hapal Alquran atau kuliah gratis berkuota lima hingga 10 persen per kelas," kata Sirozi.Program ini, diakui Sirozi, sudah berjalan sejak dua tahun lalu. Peminatnya cukup banyak.

Namun, baru ada satu siswa saja yang dikuliahkan gratis hingga jenjang S2. Khusus yang gratis SPP mencapai puluhan siswa.“Kita baru satu siswa saja yang gol hingga S2 gratis. Sisanya cuma bebas SPP setahun dan dua tahun saja," kata Sirozi.Umumnya peminat beasiswa Alquran, adalah lulusan MAN atau pondok pesantren. “Tapi kesempatan masih terbuka. Siapapun bisa daftar. nanti diseleksi sampai 30 Juli mendatang,” kata Sirozi.
(Sumber; www.detik.com)

»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Menag Buka Pendidikan Maahad Al Quran Gratis



Sabtu, 04 Juli 2009 09:51 WIB

JAKARTA--MI: Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni minta kepada para santri yang hafal Al Quran dan mahiar Bahasa Arab untuk ikut pendidikan Maahad Al Quran di Pondok Pesantren Darul Muzari'in Al Islamiah, Karang Bolong, Pandeglang, Banten.

"Di negeri ini banyak santri yang hafal Al Quran, tapi yang hafal dan mahir Bahasa Arab sangat langka," kata Maftuh di Jakarta, Sabtu (4/7).

Ia mengatakan, persiapan pendidikan maahad Al Quran di Pondok Pesantren Darul Muzari'in sudah matang. Pada September mendatang sudah dapat dilaksanakan. Semua biaya selama perkuliahan dibebasakan. Cuma santri yang ikut pendidikan untuk gelombang pertama ini dibatasi, 25 santri.

"Kita membebaskan 25 santri lelaki saja. Semua biaya perkuliahan, penginapan di asrama dibebaskan. Hanya saja, untuk makan sehari-hari, santri harus cari sendiri," kata Maftuh.

Pondok Pesantren itu sendiri, aku Menag, akan dipimpin langsung oleh dirinya sendiri. Memimpin sebuah pondok pesantren merupakan obsesi Maftuh sebelum ia menjadi Duta Besar di Arab Saudi.

Mengenai tenaga pengajar, ia mengatakan, semuanya berasal dari negara Timur Tengah. "Saya tak membayar para pengajar, tetapi atas komitmen sejumlah tokoh dan ulama dari negara sahabat itu. Mereka bersedia mengirim pengajar ke sini," katanya.

Sumber: www.mediaindonesia.com
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Islam Versi Kang Karno

Saat menikmati kopi cap secangkir berdua, bertanya seorang teman pada kang Jarno.

"Bagaimana islam menurut sampean Kang?" Tanya seorang teman.

"Islam itu agama yang diridhai Tuhan, agama yang toleran, ngajari kebersamaan, kesejahteraan dan kedamaian.
Islam bukan agama yang ekstrem, ngajari kekerasan atawa kebrutalan.
Kanjeng Nabi saw selaku pembawa islam diutus sebagai rahmatan lil 'alamin, menjadi rahmat untuk sumua manusia.
Entah itu manusia yang sudah islam maupun yang belum islam. Islam juga mengedepankan budi pekerti bukan tindakan senonoh atau tidak terpuji. Sebab Beliau juga diutus untuk menyempurnakan akhlak "innama bu'istu li-utammima makarimal akhlaak".
Bagi mereka yang mau ngislam ya silakan, yang belum mau ngga' ada paksaan. Toh itu bisa berarti orang tersebut belum dapat hidayah dari Yang Maha Kuasa.
"Laa ikraaha fiddiin" (ngga' da paksaan dalam beragama)." Papar Kang Jarno.

"Sampean ini ngomng ngalor-ngidul, kesimpulannya sih apa? Sela teman tersebut.

"Ya kalo orang sesuai dengan penjelasan tadi, berarti masuk kategori yang mempraktekan ajaran islam. kalo ngga' sesuai berarti belum." jawab Kang Jarno.

"Lah kita sih dah ngislam belum ya Kang?" Sambung teman tersebut.

"InsyaALlaah!!!" Tegas Kang Jarno.

Kenitra, 11 Juni 2009.
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Tentang Syirik

Dalam suasana ndopokan (obrolan) Kang Tumino yang hobi ziarah kubur mengungkapkan kegelisahan hatinya pada kawan-kawannya.

"Kyeh Kang, aku pernah denger gosip kalo orang yang ziarah kubur bisa melakukan perbuatan syirik. Maksudnya sih gimana yah?" Tanya Kang Tumino.

Salah satu temannya merespon, "wah, ane kurang tau tuh. yang ane tau syirik itu menyekutukan Allah, ngadain sesembahan pada selain Allah."
"Lah menurun sampean gimana Kang Bejo?" Tanya teman tersebut.

"Yaa kalo ane sih nggak mau ribet-ribet. Selagi ziarah kubur itu niatnya ittiba' sunnah (melakukan sunah Nabi saw) itu sah-sah saja. Tapi kalo ziarah kuburnya untuk minta macem-macem kepada Ahli kubur, menyakini bahwa si Ahli kubur bisa mengabulkan suatu hal. Berarti orang itu telah berbuat syirik. Bukankah hanya Allah Dzat Penolong, bukankah kita cuma diperintahkan untuk memohon dan menyembah hanya kepada-Nya." Jelas Kang Bejo.

"Weeeeh... Keren amat omongan ente, dapet dari mana tuh? Celetuk seorang teman.

"Hehehe, kemaren boleh dapet dari pengajian pesantren sebelah." Jawab Kang Bejo.


Kenitra, 11 Juni 2009.

»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Khauf (Takut)

Dalam suatu majlis Kang Darsono bertanya pada seorang kyai pengampu.

"Pak Kyai, Allah swt telah memerintahkan kita untuk hanya takut kepada-Nya. Tapi dalam keseharian terkadang kita takut kepada selain-Nya. Seperti pada sesama manusia, binatang , atau lainnya. Apakah itu termasuk menyekutukan Allah swt?" Tanya Kang Darsono.

Dengan sederhana Kyai itu menjawab "Tidak semua rasa takut terhadap sesama makhluk masuk dalam kategori menyekutukan Allah (syirik). Sebab rasa takut itu adakalanya timbul secara thabi'iah (alamiah). Dalam hal ini para nabi pun pernah mengalaminya. Contohnya rasa takut yang dialami nabi Musa as. yang tertera dalam firman Allah "fakharaja muusa khaaifan yataraqqab" dan beberapa contoh lainnya." Papar Pak Kyai .


Kenitra, 11 Juni 2009



»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Kamis, 01 April 2010

Imam Abu Hanifah Vs Imam Malik Dalam Mengakses Sunnah

Oleh: Ali Syahbana*


Imam Abu Hanifah adalah pendiri Mazhab Hanafi yang memiliki nama lengkap Abu Hanifah an Nu’man bin Tsabit bin Zutha bin Mahan al-farisi al-kufi at-Taymi. Beliau lahir di Kufah, Irak pada tahun 80 H/699 M dan wafat di Baghdad, Irak tahun 150 H/769 M.

Dalam istinbathul hukmi bissunnah (penggalian sebuah hukum memakai sunnah) beliau memberikan syarat-syarat yang amat ketat dalam hal tersebut. Syarat-syarat itu ialah :

Sesuai Zohirnya al Qur’an

Jika ada hadits yang kontradiktif dengan apa yang telah tertera dalam al Qur’an, maka hadits tersebut tidak masuk kriteria dalam penggalian sebuah hukum menurut Beliau.

Sebagai contoh penolakannya terhadap hal tersebut, hadits yang menyatakan bahwa “Thawaf adalah Thaharah” sebagaimana yang tertera dalam kitab A’lamul Muwaqqi’in karya Ibnu Qayyim al Jauzi yang subtansi hadits tersebut mewajibkan suci dari hadas kecil maupun besar ketika berthawaf. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa al Qur’an ketika menyebutkan masalah thawaf , tidak tertera didalamnya kewajiban untuk thaharah atawa bersuci. Maka dari itu mereka menolak hadits tersebut dengan dalih ‘’yukhaalif zhaahiral qur’an’’ atau tidak sesuai tekstualitas al Qur’an.

Begitu juga hadits tentang“taghriibu az zaani sanah” (pengasingan atau evakuasi pelaku zina selama setahun), hadits “wajib membaca fatihah dalam shalat’’, dan lain sebagainya yang tertolak oleh Ulama Hanafiah disebabkan telah melenceng dari tekstualitas al Qur’an.

Namun tindakan mereka (Ulama Hanafiah.red) ini telah menuai banyak kontroversi dikalangan Ulama lainnya. Dan banyak dari mereka (Ulama yang tidak setuju.red) yang mengkampanyekan lagu ketidaksetujuan terhadap tindakan tersebut dengan membeberkan kesalahkaprahan kaidah mereka (Ulama Hanafiah.red) dalam memahami ketidaksesuain hadits atawa khobar ahad. Sebagian dari mereka adalah Imam al Ghazali dalam kitabnya al Mustashfa, Syekh Ibnu Hazm al Andalusi -pengembang Mazhab Zhahiry yang didirikan oleh Syekh Abu Sulaiman az Zhahiry- dalam kitab al Ahkamnya, begitu juga Syekh Ibnu Qayyim dan Syekh Fakhrur Razi dalam kitab mereka masing-masing.

Menerima Hadits Jika Banyak Orang Yang Meriwayatkannya

Sebagai salah satu manifestasi ketatnya Abu Hanifah dan Mazhab Hanafi dalam mengakses hadits atawa sunnah sebagai pondasi penggalian sebuah hukum ialah penolakan mereka terhadap hadits yang tidak diriwayatkan jama’ah (banyak orang).

Seperti hadits Anas bin Malik ra. Dalam hal “Jahr bil Basmalah”, hadits Ibnu Umar ra. tentang “mengangkat kedua tangan saat hendak ruku’ dan setelah ruku’”, dan lain-lain.

Pada sub pembahasan ini Ulama Hanafiah menolak hadits-hadits tersebut dengan menyodorkan argumen bahwa itu merupakan khobar ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang dan tidak memenuhi syarat hadits masyhur atau mutawatir) yang sedikit sekali orang meriwayatkannya, bahkan hanya satu orang saja yang meriwayatkannya.

Rawi Hadits Sesuai Dengan Apa Yang Ia Riwayatkan

Pada syarat ini mengandung makna bahwa Ulama Hanafiah tidak menerapkan pemakaian hadits sebagai penggalian sebuah hukum jika Rawinya tidak sejalur dengan apa yang ia katakan.

Seperti penolakan mereka terhadap hadits dari Abu Hurairah ra. yang diriwayatkan Imam Bukhori;bab wudhu, Imam Muslim;bab Thaharah, Imam Malik dalam kitab al Muwatha’, yang berbunyi, “Idza walagha al Kalb fi inaai ahadikum falyaghsilhu sab’a marroot, awlahunna au akhiraahunna bitturaab.” Jika seekor anjing menjilati inaa’ -tempat untuk sesuatu- diantara kalian, maka basuhlah tujuh kali yang salah satunya dicampur dengan debu.

Pada hadits tersebut Ulama Hanafiah menolak menjadikannya sebagai rujukan dalam penggalian sebuah hukum disebabkan Abu Hurairah ra. Tidak sejalur dengan apa yang ia riwayatkan. Apa pasal? Sebab dalam riwayat lain ia mengatakan, “membasuh secara tiga kali, bukan tujuh kali”

Akan tetapi dalam masalah ini mayoritas Mazhab menyatakan bahwa, “Tidak sejalurnya Rawi dengan apa yang ia riwayatkan bukan berarti menjadikan tidak shahihnya sebuah hadits. Sebab, tidak menerapkannya Rawi terhadap apa yang ia riwayatkan, adakalanya sebagai wujud ijtihadnya atau dikarenakan kelupaannya.”

Tidak Melenceng Dari Qiyas Jika Seorang Rawi Tidak Faqih

Statemen ini merupakan asas yang diaplikasikan oleh Ulama Hanafiah terbelakang dan bukan perkataan Imam Abu Hanifah secara pribadi. Akan tetapi ini merupakan perkataan Isa bin Abbas, yang kemudian disusul oleh at Thahawi, as Syarkhasi, al Bajdawi, dan lain sebagainya.

Al Bajdawi dalam kitabnya Kasyful Asrar berkata, “Adapun riwayat orang yang tidak mengetahui fiqh, tetapi ma’ruf dengan sifat ‘adalah dan dhabtnya (merupakan salah satu syarat shahihnya sebuah hadits) seperti Abu Hurairah ra. dan Anas bin Malik ra., jika sesuai dengan qiyas maka bisa diamalkan.

Kendati demikian, mayoritas Ulama telah mengingkari atau tidak memberi restu tarhadap apa yang mereka praktekan, dengan mengklaim bahwa Shahabat radhiallahu ‘anhum merupakan makhluk yang paham betul fiqh dan mereka (Shahabat.red) tidak mungkin bersikap apriori terhadap hadits demi sebuah ijtihad. Tetapi mereka meninggalkan ijtihadnya jika tidak sesuai dengan hadits. Sebagaimana Umar ra. yang meninggalkan ijtihadnya perihal “diyyatul janiin” pasca mendengar hadits dari Hammal bin Malik ra. dan Mughirah bin Sya’bah ra.

Bagaimana Dengan Imam Malik

Tidak berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin Abu `Amr, al-Imam Abu `Abdillah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), pendiri Mazhab Maliki kelahiran Madinah tahun 93 H/714 M dan wafat di tempat yang sama pada tahun 179 H/800 M yang -seperti Imam Abu Hanifah- juga berguru pada Nafi’ Maula Ibnu Umar, pun memberikan syarat ekstra ketat dalam mengakses sunnah sebagai salah satu pedoman ijtihadnya.

Adapun syarat-syarat tersebut ialah:

Hadits Tidak Berpaling Dari Tekstualitas al Qur’an

Apabila ditemukan khobar ahad yang tidak sesuai dengan tekstualitas al Qur’an, maka hal ini tidak berlaku bagi mereka sebagai asas dalam penggalian sebuah hukum. Sebab menurut mereka tekstualitas al Qur’an merupakan dalil yang lebih kuat sedangkan khobar ahad masih bersifat zhanniyatul wurud (tidak menutup kemungkinan hadits tersebut shahih, hasan atau bahkan dlo’if) )

Sebagai misal, pengharaman memakan daging “khail” (Kuda), meskipun ada segelintir hadits yang membolehkannya, seperti hadids yang diriwayatkan Imam Muslim dari Jabir ra. yang secara subtansial membolehkan memakan daging tersebut.

Adapun pendapat mereka tentang pengharaman hal tersebut berlandaskan Nash al Qur’an yang berbunyi, “Wal khaiila wal bighaala wal hamiira litarkabuuha wajiinah.” (dan -Dia telah menciptakan- kuda, bighaal -peranakan kuda dengan keledai- dan keledai.untuk kamu tunggangi dan -menjadi- perhiasan). An Nahl:8

Dalam Muwatha’nya Imam Malik berkata, “ Allah swt dalam menyebutkan khail, bighal dan hamir hanyalah untuk kendaraan dan kepemilikan (perhiasan) bukan untuk dimakan.”

Hadits Sesuai ‘Amal Ahli Madinah (Perbuatan Ahli Madinah)

Imam Malik berpendapat bahwa Amal Ahli Madinah merupakan cermin pada zaman Rasulullah saw. Sebab Madinah termasuk kota dimana Rasulullah saw hijrah dan tempat para Sahabat menetap. Penduduknya lebih mengerti hukum-hukum islam dari pada penduduk lainnya. Mereka juga termasuk saksi detik-detik akhir perkara dari Rasulullah saw, mengetahui naskh (menghilangkan hukum syar’i dengan dalil syar’i) mansukhAmal Ahli Madinah, maka hal itu menunjukan bahwa hadits tersebut telah di naskh atau terganti hukumnya dengan hukum lainnya. (hukum yang diganti) dan lain sebagainya. Maka apapun perbuatan yang mereka lakukan adalah salah satu pertanda terhadap apa yang telah ditetapkan Rasulullah saw. Dan jika ditemukan beberapa hadits yang kontradiktif dengan

Amal Ahli Madinah Tidak Mengarah Pada Sesuatu Yang Terlarang

Ini adalah syarat terakhir yang diterapkan Mazhab Maliki. Jika Amal Ahli Madinah mengarah pada sesuatu yang terlarang, maka hal tersebut tidak mereka jadikan pedoman dalam penggalian sebuah hukum.

Sebagai contonya, berpuasa hari sabtu pada bulan syawal disebabkan keyakinan manusia bahwa hari itu masih termasuk bulan Ramadhan. Berangkat dari hal itulah Imam Malik tidak menyetujui berpuasa pada hari tersebut..

Begitulah deskripsi bagaimana Ulama kita berijtihad dalam penetapan sebuah hukum. Lain Imam Abu Hanifah, lain Imam Malik dan lain pula tentunya dengan Imam Syafi’i atawa Imam Hambali. Kesemua dari mereka memiliki trik tersendiri dalam menggali hokum-hukum islam yang motifnya semata-mata demi kesejahteraan umat Nabi saw. Bagi umat yang sreg dengan Mazhab Hanafi, tidak terlarang bagi mereka untuk mengikutinya. Pun demikian dengan mereka yang klop dengan Imam Malik, Syafi’I maupun Hanbali. Tidak ada yang salah bagi mereka. Namun yang salah ialah mereka yag tidak manut dengan nilai-nilai yang tertanam dalam ajaran agama kita. Wallahua’lam bis shawab.


Kenitra, 24 Januari 2009.

*Tulisan ini merupakan pemahaman dari kitab “Bulughul Amany fi at Tarikh al Fiqhi al Islamy” karya Dr. Abu Jamil Hasan al 'Alamy, Dosen pascasarjana di Univ. Ibnu Thufail Maroko.

»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Kajian Maqasid Syariah: Sebuah Pengenalan


Oleh: Ali Syahbana*1

A. Pendahuluan

Puja dan puji syukur tetap terlimpahkan kehadirat Allah swt, atas segala nikmat yang diberikan. Dialah Dzat yang telah menciptapkan segala sesuatu tanpa kesia-siaan. Dzat pencipta manusia dengan penuh kemuliaan dan kesempurnaan. Dan teriring doa semoga kita selalu diberi oleh-Nya sebuah kesejahteraan, baik di alam sekarang maupun yang kelak akan kita rasakan.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihiwasallam, sosok yang telah mengibarkan panji-panji Islami menuju tahta kehormatan dan kemuliaan tertinggi. Dan besar harapan kita semoga termasuk bagian dari umat yang mendapat syafa’at beliau di yaumul hisab kelak. Amin Allahumma amin ya rabbal ‘alamin.

Waba’du, kajian maqasid syariah merupakan satu dari beberapa disiplin literatur yang diskursusnya berkaitan dengat Syari’at Islam. Maqasid syariah juga telah menjadi bagian dari beberapa rujukan penting dalam syari’at islamiah. Di samping itu, maqasid syariah pun memiliki kontribusi yang berarti dalam memahami hukum-hukum Allah maupun ber-ijtihad terhadap sekelumit fenomena yang menghampiri yang jawabannya tidak tertera dalam teks al Qur’an dan as Sunnah serta Ijma’ para ulama. Di luar itu semua, dengan mengetahui dan memahami maqasid syariah, setidaknya membuat kita terlepas akan klaim pembid’ahan dalam agama. Sebagaimana Imam Abu Ishak as Syatibi (w: 790 H), tokoh penggagas maqasid syariah mengemukakan bahwa salah satu sebab pembid’ahan dalam agama ialah buta akan pengetahuan maqasid syariah.

Berangkat dari hal tersebut, berbekal kitab “al Maqasid as Syariah” karya Prof. Dr. Nuruddin bin Mukhtar al Khadimi (Direktur Pasca Sarjana Universitas Ezzitouna Tunisia) sebagai referensi utama, ditambah beberapa referensi pendukung lainnya, dalam kesempatan kali ini penulis akan mencoba mengenalkan secara sederhana tentang kajian maqasid syariah. Tiada harapan bagi penulis kecuali lembaran-lembaran ini bisa membawa berkah dan manfaat baik di masa sekarang maupun yang akan datang, baik di alam dunia maupun alam yang kekal selamanya.

B. Definisi Maqasid Syariah

al Maqasid merupakan bentuk plural dari kata al maqsad, ia adalah masdar mim dari kata kerja qasada yaqsudu qasdan wamaqsadan. Kata al qasd dan al maqsud memiliki makna yang sama dan secara etimologi atau bahasa bisa berarti sbb:

Al qasd memiliki makna niat, maksud atau tujuan. Al qasd juga berarti kesederhanaan, adil dan seimbang, sebagaimana Firman Allah swt :

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan” (Qs. Lukman : 19).
Artinya ketika kamu berjalan, janganlah terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat.

Al qasd juga bisa diartikan dengan jalan yang lurus, mudah diraih dan tidak begitu jauh. Makna ini sesuai firman Allah swt :
“Dan hak bagi Allah swt (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. dan Jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar)” (Qs. an Nahl : 9).
“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu Keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu“ (Qs. at Taubah : 42).

Adapun makna Syariah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Madkhol Lidirosati As Syari’ah Al Islamiyah. Abd. karangan Dr. Latif Hidayatullah yaitu: hukum-hukum yang ditetapkan Allah swt kepada hamba-hamba-Nya yang disampaikan melalui para Nabi dan Rasul-Nya, baik lingkup akidah, ibadah, mua’malah, akhlak dan tatanan kehidupan yang bertujuan untuk kesejahteraan umat manusia di dunia maupun akhirat.

Dari definisi diatas, setidaknya bisa ditemukan titik terang mengenai arti maqasid syariah secara terminologi atau dalam makna ishtilahi. Terlepas dari hal itu, boleh dikatakan bahwa tujuan-tujuan syariat Islam pada intinya menginginkan kemudahan bukan kesulitan dan kesukaran, menghendaki kehidupan yang seimbang dan sejahtera. Hal ini, dipertegas dengan beberapa ayat dalam al Qur’an, misalnya; Qs. al Baqarah : 185, al Hajj : 78, an Nisa : 28 dan seterusnya.. Apabila realitasnya demikian, maka bagaimana kita mendefinisi maqasid syariah secara terminologi?

Prof. Dr. Nuruddin bin Mukhtar al Khadimi dalam karyanya tentang maqasid syariah telah memaparkan seputar partisipasi para ulama berkaitan dengan definisi maqasid syariah. Ia menyebutkan beberapa ulama yang mendefinisikan maqasid syari’ah, diantaranya adalah :

Syaikh Mohammed Tohir bin Asyur, pakar maqasid syariah yang juga guru besar di masjid agung Ezzitouna Tunisia mendefinikan bahwa, “Maqasid syariah ialah essensi atau hikmah yang terkandung dalam semua hukum syari’at yang telah ditetapkan Syari’ (Allah Swt dan rasul-Nya) dan mencakup segala aspek hukum.
Syaikh ‘Alal al Fasi, salah satu ulama dan pemikir Maroko turut memberikan definisi maqasid syari’ah, “Maqasid syari’ah yaitu motif atau beberapa rahasia yang ditetapkan oleh Allah swt pada setiap hukum dari hukum syar’i”.

Pakar maqasid kontemporer dari Maroko Dr. Ahmad. Raisuni ikut mendefinisikan, bahwa “Maqasid syariah ialah tujuan-tujuan dari diletakkannya syari’at yang tidak lain untuk kemaslahatan umat”.
Begitu juga founding father maqasid syariah, Imam Abu Ishaq as Syatibi (w: 790 H) memberikan indikasi bahwa, “Tujuan Syari’ dalam meletakan hukum ialah untuk kemaslahatan hamba-Nya.” (al Muwafaqat fi Ushul as Syari’ah; 2/5).

Mengacu pada definisi-definisi diatas, penulis bisa mengambil benang merah bahwa, “Maqasid syariah ialah segenap tujuan dari hukum-hukum yang disyari’atkan Allah swt terhadap hamba-Nya, yang tidak lain untuk sebuah kemaslahatan.”

C. Pembagian Maqasid Syariah

Para pakar maqasid telah memetakan maqasid syariah menjadi beberapa bagian. Namun, pada kesempatan ini penulis hanya akan memaparkan sedikit dari bagian tersebut yang dianggap perlu untuk diketahui. Adapun pembagian maqasid syariah, yaitu :

I- Maqasid Syariah ditinjau dari tingkat kebutuhannya:
Maqasid syariah pada pembagian ini terbagi menjadi : Maqasid Dharuriyah (Primer), Maqasid Hajiyah (Sekunder) Dan Maqasid Tahsiniyah (Tersier).

- Maqasid Dharuriyah (primer)
Maqasid dharuriyah adalah tujuan-tujuan dari kebutuhan manusia yang harus dipenuhi atau eksistensinya wajib terpenuhi. Ulama Ushuliyyin mengistilahkan maqasid dharuriyah dengan sebutan “Kulliyatu alkhams” atau lima asas, yaitu :
Hifz ad Din, maknanya menjaga keberlangsungan agama Islam. Aplikasinya dengan memahami, menyebarluaskan serta mengamalkan ajaran-ajarannya dalam aktivitas keseharian. Dan atas dasar Hifz ad Din, telah disyariatkan hukum-hukum seperti; disyari’atkannya pengucapan dua kalimat syahadat sebagai penguat akidah dan iman, disyariatkanyan dzikir dan pembacaan al Qur’an, pembangunan masjid atau tempat-tempat ibadah, madrasah, universitas, majlis-majlis pengajian, dan lain-lain.
Hifz an Nafs, artinya menjaga atau memelihara hak dan jiwa manusia baik berupa hak untuk hidup, keselamatan, kesehatan, ketenangan jiwa, akal dan ruhani. Dan untuk panjagaan terhadap jiwa tersebut, ditetapkan hukum-hukum syaria’t seperti; larangan membunuh tanpa hak, disyari’atkan qishas, larangan qoth at thoriq (pembegalan atau merampok), larangan membakar jenazah - bahkan wajib bagi kita memandikan, mengkafani, dan menguburnya sebagai wujud pemuliaan-, dan beberapa syari’at lainnya yang berdimensi menjaga nyawa / jiwa.
Hifz al ’Aql berarti pemeliharan terhadap akal dari berbagai hal yang dapat merusaknya. Berangkat dari tujuan ini, telah disyari’atkan hukum-hukum seperti; pengharaman sesuatu yang memabukkan dan segala sesuatu yang dapat merusak akal manusia.
Hifz an Nasl, an Nasb dan al ‘Ard yang artinya menjaga keberlangsungan regenerasi umat manusia, serta pemeliharaan terhadap harga diri dan martabatnya. Pada tataran aplikasi dari ketiga hal tersebut, telah ditetapkan dalam al Qur’an beberapa hukum, semisal; perintah untuk menikah, pengharaman zina, pelarangan nikah tahlil (sekedar cara / perantara untuk mengembalikan seorang wanita pada suami yang telah mentalak tiga), dan juga disyari’atkan hukuman bagi syudzudz (hubungan sesama jenis) dan sebagainya.
Hifz al Mal yaitu menjaga dan melestarikan keberadaan harta serta membelanjakannya pada jalur yang sesuai. Dalam menjaga harta ini telah disyari’atkan hukum-hukum seperti; larangan mencuri, ghasab (merampas atau mengambil milik orang lain secara paksa), menipu atau korupsi, larangan riba dan lain-lain.

- Maqasid Hajiyah (sekunder)
Ialah tujuan-tujuan yang disandarkan pada barometer hajat kebutuhan manusia. Yang mana jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, hanya berimbas pada timbulnya kesulitan yang tidak sampai fatal akibatnya. Maqasid hajiah“Al mashalih al hajiyah” yang memiliki arti kemashlahatan yang dibutuhkan. Seperti kemashlahatan transaksi jual-beli, pertanian, kerjasama dalam perdagangan. disebut juga dengan
Sebagai contoh dari maqasid hajiyah adalah; diperbolehkannya memakai sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit. Hal ini dikarenakan jika ia tidak memakai sutera akan mengakibatkan penyakitnya bertambah parah. Begitu juga dibolehkannya salam (akad pesan memesan), sewa-menyewa, muzara’ah (pemanfaatan pertanian dengan cara pemilik tanah memberikan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dan hasilnya akan dibagi sesuai kesepakatan bersama), mudharabah (kongsi), qiradh (investasi), dan sebagainya. Dan Juga kebolehan qashar (meringkas) shalat bagi musafir, berbuka bagi orang yang sakit, melihat aurat dengan sebab tertentu, dan lain-lain.

- Maqasid Tahsiniyah (tersier)
Adalah tujuan yang dilandaskan pada barometer kebutuhan manusia yang bersifat sebagai pelengkap atau penyempurna. Dinamakan maqasid tahsiniyah tidak lain karena posisinya sebagai supelmen dalam kehidupan manusia sekaligus memperindah interaksi sosial diantara mereka. Maqasid tahsiniyah - sebagaimana dikemukakan Imam Syatibi - termasuk dalam katagori makarim al Akhlak (keluhuran budi pekerti). (Al Muwafaqat fi Ushul as Syari’at, 2:11).

Contoh maqasid tahsiniyah seperti; menjaga kebersihan tubuh, menutup aurat, memakai parfum sesuai ketentuan syari’at, kode etik pada saat kita makan, minum, berpakaian, dan lain sebagainya.

II- Maqasid syari’ah ditinjau dari aspek sandaran dalil Syar’i
Maqasid syariah ditinjau dari sisi ini terbagi menjadi : Maqasid Mulghah (tidak dianggap), Maqasid Mu’tabarah (dianggap) dan Maqasid Mursalah (nisbi).

- Maqasid Mulghah (tidak dianggap oleh syari’at)
Sebagian Ulama mengibaratkan maqasid mulghah dengan al Mashalih al Mulghah yang pengertiannya ialah kemaslahatan yang tidak dibenarkan dalam perspektif syar’I, dan tidak dianggap keberadaannya oleh Allah swt. Kemaslahatan ini lahir dari kacamata individual manusia bukan menurut pandangan Syari’at. Jika dilihat sekilas dan secara lahiriyah maka akan tampak sebagai sebuah kemaslahatan, namun pada hakikatnya tidak demikian bahkan ia dapat dikatagorikan sebagai kemafsadatan.

Contoh dari maslahah mulghoh seperti ; kenikmatan sejenak yang dirasakan para peminum khamr (minuman keras), penghasilan materi bagi para penjual, pekerja dan distributornya. Atau membunuh seseorang untuk dikonsumsi dagingnya, dikarenakan kondisi kelaparan yang bisa mengakibatkan kematian, dan lain sebagainya.

- Maqasid Mu’tabarah (dianggap oleh syari’at)
Adalah kemaslahatan yang telah diakui dan ditetapkan keberadaannya dalam nash (teks) syar’i atau ijma’Maslahah mu’tabarah merupakan kemaslahatan yang sah dan qath’i serta wajib bagi kita untuk mengaplikasikannya. Imam Abu Ishak as Syatibi mengatakan, “Sesuatu yang keberadaannya dibenarkan oleh syarai’at, maka tidak ada keraguan dan pertentangan dalam validitas dan pengamalannya”. (al I’tisham, 2 : 374). (konsesus) para ulama dan mujtahid.

Sebagai Contoh dalam pembahasan ini ialah ; Kemaslahatan dalam mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa dan melaksanakan ibadah haji (Qs. Taha : 41, Qs. At Taubah : 103, Qs. Al Baqarah : 183). Begitu juga pengharaman zina dan hukuman bagi pelakunya, Hukum qishas dan pembunuhan yang disengaja, dan lain-lain.

- Maqasid Mursalah (eksistensinya nisbi)
Yaitu penetapan sebuah hukum berdasarkan pada kemaslahatan, yang tidak ada ketentuan dianggap atau tidaknya dalam nash (teks) syar’i maupun ijma’ (konsesus) para ulama. (Dr. Abdul Latif Hidayatullah, al Madkhal Lidirasath as Syariah al Islamiah, hlm. 104).

Pakar Maqasid asal Maroko, Alal al Fasi dalam al Maqasid as Syariah wa Makarimiha telah memberikan beberapa syarat penetapan hukum dengan maslahah mursalah, antara lain :

  • Maslahah mursalah harus dalam koridor tujuan-tujuan ditetapkannya syari’at (sesuai maqasid syariah).
  • Nilai kemaslahatannya harus jelas dan keberadaannya logis (diterima oleh akal).
  • Dalam mengaplikasikan maslahah mursalah harus berdasarkan pada kondisi untuk menjaga sesuatu yang vital dan menghindari bahaya yang fatal. Sebagaimana firman Allah swt, Qs. Al Hajj : 78. (Lihat juga: al I’tisham, as Syatibi, hlm. 307-314) .

Adapun validitas dalil maslahah al Mursalah, menurut mayoritas ulama adalah dibolehkannya proses istinbath al ahkam (pengambilan hukum) dengan berpegang pada dalil maslahah al mursalah, dengan alasan sbb:

  • Nash-nash al Qur’an dan as Sunnah yang menganjurkan untuk mengambil kemaslahatan dan meninggalkan kemafsadatan.
  • Kesepakatan para ulama dan mujtahid yang mengklaim bahwa syari’at Islam ditetapkan untuk kemaslahatan umat manusia, baik pada masa sekarang maupun yang akan datang.
  • Aplikasi para sahabat dan tabi’in yang menetapkan hukum dengan melandaskan pada suatu kemaslahatan pada kasus-kasus yang tidak ditemukan dalil syar’i secara eksplisit.

Diantara contoh maslahah al mursalah adalah pembukuan al Qur’an pada zaman khalifah Abu Bakar as Siddiq, penyatuan Mushaf dan Qira’ah (tata cara membaca) al Qur’an pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan, Pembukuan undang-undang di era para sahabat Nabi, larangan menikah dengan ahli kitab (non muslim dari unsur agama samawi) pada masa khalifah Umar bin Khattab, ditetapkannya peraturan lalu lintas dimasa sekarang yang timbul atas dasar kemaslahatan umat manusia, dan beberapa contoh lainnya.

III- Maqasid Syariah ditinjau dari level keaslian
Maqasid syariah pada bagian ini terbagi menjadi : Maqasid Asliah (asal) dan Maqasid Tabi’ah (pelengkap).

- Maqasid Asliah (asal)
Imam Abu Ishak as Syatibi dalam al Muwafaqat memperkenalkan bahwa maqasid asliah ialah tujuan-tujuan dari segala sesuatu yang pelaksanaannya wajib bagi mukallaf. Sebagian Ulama menyebut Maqasid asliah dengan sebutan maqasid asasiah (pokok).

Contoh dari maqasid ini adalah; pernikahan dengan maksud menghasilkan keturunan. Dengan adanya pernikahan, tentunya akan menjadi jalan untuk memperoleh keturunan yang merupakan tujuan utama dari pernikahan. Sedangkan istimta’ (melampiaskan hasrat biologis), membina keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah (bahagia dan sejahtera) merupakan beberapa tujuan yang mengikuti tujuan uatama di atas (mendapatkan keturunan). Begitu juga mengamalkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, tujuan pokokknya adalah ta’abbud (beribadah) kepada Allah swt. Sedangkan mendapat kedudukan dimata manusia, pekerjaan yang menghasilkan materi, dan lain sebagainya adalah merupakan tujuan pengikut dari tujuan utama di atas.

- Maqasid Tabi’ah (pengikut)
Maqasid tabi’ah menurut hemat penulis adalah tujuan-tujuan yang lahir dibalik pelaksanaan tujuan asas atau utama. Maqasid tabi’ah bisa juga masuk dalam kategori maqasid hajiyah dan kamaliyah. Adapun contoh dari maqasid ini yaitu sebagaimana dipaparkan dalam contoh maqasid asliah di atas.

D. Penutup

Maqasid syariah pada tataran prakteknya bisa masuk dalam berbagai aspek kehidupan. Entah itu aspek ibadah, mu’amalah, penetapan hukum, siyasah syar’iyyah ataupun yang lainnya. Maka dengan kita mengetahui dan memahaminya, setidaknya kita telah memiliki saham untuk lebih memahami maksud hukum-hukum Ilahi ataupun menetapkan hukum pada realitas yang kita hadapi. Dalam kitab Min A’lam al Fikr al Maqasidi karya Dr. Ahmad Raisuni dijelaskan “Barang siapa yang telah menguasai maqasid syariah, maka ia telah memahami akan syari’at Allah swt dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang mengetahui atau memahaminya, maka ia adalah hakim dan faqih yang hakiki”. Wallahua’lam bisshawab.


* Disampaikan dalam diskusi reguler Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko Cab. Kenitra pada tanggal 16 Mei 2009.
* Tulisan ini ditashih oleh Dr. Arwani Syaerozi, pemerhati maqasid syariah asal Indonesia.
1 Penulis termasuk mahasiswa Fak. Dirasah Islamiah Univ. Ibnu Thufail Kenitra Maroko.
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Wanita dan Tradisinya

Oleh: Ali Syahbana

Adalah mafhum bagi kita semua bahwa Allah swt dalam beberapa firman-Nya telah mewajibkan kita selaku makhluk ciptaan-Nya untuk melaksanakan apa yang Dia perintahkan, seperti shalat, puasa dan lain sebagainya. Akan tetapi, bagi kalangan wanita pada masalah tertentu Allah swt malah mengharamkan mereka untuk menjalankan kewajiban tersebut dikarenakan tradisi yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

Lantas, apakah tradisi yang menjadikan mereka haram melakukan kewajibannya ? Berikut ulasannya.

Pertama Ialah Haid

Haid ditinjau dari segi bahasa berarti darah yang mengalir. Sedangkan menurut syara’ -sebagaimana jumhur ulama mengatakan- ialah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita dalam keadaan sehat dan bukan karena suatu sebab, seperti penyakit, melahirkan, keguguran atau lainnya.

Syarat-Syarat Keluarnya Darah Haid
Adapun haid tidak akan terjadi kecuali dengan syarat-syarat berikut :
Seorang wanita telah mencapai umur 9 tahun (dihitung secara Qomariyah atau sesuai tanggal kelahiran, misal lahir tanggal 1 Januari 2009). Dan jika belum mencapai umur tersebut tetapi sudah mengeluarkan darah, maka darah tersebut dinamakan Darah Istihadloh, sebagaimana yang akan diterangkan kemudian. Insya Allah.
Darah yang keluar berupa warna sebagai berikut :
  • Merah, sebagai warna asli darah haid.
  • Hitam, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Nasa’I dari Aisyah r.ah bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy mengalami haid, maka Rasulullah saw pun berkata:“sesungguhnya darah haid itu telah diketahui berwarna hitam; jikalau. Jika memang demikian, berhentilah dari shalat.”

  • Kuning atau kekuning kuningan
  • Keruh, antara warna hitam dam putih atau kehitam hitaman

Darah yang keluar tidak kurang dari sedikitnya masa haid, yaitu sehari semalam. Jika keluarnya darah hanya separuh hari saja, maka itu tidak termasuk darah haid.
Darah yang keluar tidah melebihi lamanya masa haid, yaitu 15 (lima belas) hari. Jika melebihi hitungan tersebut, maka tidak dinamakan darah haid.

Hal Hal Yang Diharamkan Bagi Wanita Haid
Bagi wanita yang mengalami haid, maka diharamkan baginya beberapa perkara berikut :

  • Haram Melaksanakan Shalat

Diharamkan bagi wanita yang sedang haid mengerjakan shalat, baik fardlu maupun sunnat. Dan tidak diwajibkan bagi mereka untuk mengqadha atau mengganti shalat tersebut. Hal ini senada dengan hadits riwayat jama’ah (seluruh periwayat hadits), dari Mu’adzah berkata:
“Saya bertanya pada Aisyah. Kenapa orang yang haid mengqadha puasanya sedangkan shalat tidak? Aisyah menjawab: “Begitulah apa yang kami alami bersama Rasulullah saw. Kami diperintahkan hanya mengqadha puasa saja dan tidah diperintakan mengqadha shalat.”
  • Haram Berpuasa

Diharamkan pula berpuasa bagi wanita yang haid, baik puasa wajib maupun sunnah. Jika tetap melaksanakannya, maka tidah sah puasanya dan wajib mengqadha’nya jika puasa itu bersifat wajib.
Jika seorang wanita kedatangan haid saat berpuasa, maka batallah puasanya, meskipun hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib. Namun jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelumnya, tetapi darah baru keluar setelah maghrib, maka menurut pendapat yang shahih puasanya tetap sempurna atau tidak batal.
  • Haram Thawaf

Diharamkan thawaf bagi yang sedang haid. Adapun selain daripada thawaf seperti sa’I antara shafa dan marwar, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, dan lain-lain maka tidak diharamkan.
  • Haram Memegang Dan Membawa Al Qur’an

Tidak diperbolehkan bagi wanita haid memegang atau membawa al Qur’an walau dengan suatu perantara apapun. Akan tetapi jika memegang kitab fiqih, buku bacaan atau lainnya yang didalamnya tertera ayat-ayat al Qur’an, maka menurut madzhab yang shahih -sebagaimana Imam Nawawi mengatakan- hal itu tidak diharamkan.
  • Haram Berdiam Diri Didalam Masjid

Hal ini berdasarkan hadit riwayat Imam Abu Daud bahwa Nabi saw bersabda:
“Tidak dihalalkan masjid bagi orang yang haid. Dan tidak pula bagi orang yang junub (hadats besar).”
Diriwayatkan pula dalam shahih Imam Bukhari dan Muslim dari Ummi ‘Athiyah r.ah bahwa ia mendengar Nabi saw bersabda:
“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid (yakni ke shalat Idul Fitri dan Adha) supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan do’a kaum muslimin. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat.”
  • Haram Membaca Al Qur’an

Jumhur ulama fiqh mengharamkan wanita yang sedang haid membaca al qur’an secara lisani (menggunakan lisan). Sedangkan jika membacanya dengan mata atau hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya, menurut Imam an Nawawi ad Damsyiqy dalam kitabnya al Majmu’ lin Nawawi. Misalnya mushaf atau lembaran al Qur’an diletakkan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca ayat tersebut.
  • Haram Bertalak

Diharamkan bagi seorang suami mentalak istrinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah swt Qs. At Thalaq:1 :
“Yaa Ayyuhannabiyyu idzaa Thallaqtumunnisaa’a fathalliquuhunna li’iddatihinna.”
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada maktu mereka dapat -menghadapi- iddahnya- yang wajar-.“

Potongan ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang istri tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau suci sebelum digauli. Sebab jika seorang istri ditalak dalam keadaan haid, maka ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang jatuh pada saat talak tidak dihitung termasuk iddah.

Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya tidak jelas. Sebab belum dapat diketahui apakah ia hamil atau tidak. Jika ia hmil maka iddahnya dengan kehamilan, jika tidak maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka diharamkan bagi sang suami mentalak istrinya sehingga jelas permasalahan tersebut.
  • Haram Melintasi Masjid Jika Khawatir Darah Akan Bertetesan

Diharamkan juga melintasi masjid bagi wanita yang haid jika ia khawatir darahnya akan bertetesan. Tetapi jika ia terpaksa melewatinya maka makruh hukumnya dalam hal tersebut.
  • Haram Jima’ (Senggama)

Diharamkan bagi suami melakukan senggama dengan istrinya yang sedang haid. Dan diharamkan juga bagi sang istri memberi kesempatan kepada suaminya untuk melakukan hal tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah swt Qs. Al baqarah:222 :
Wayas-aluunakaanil mahiid Qul huwa adzann fa’taziluunnisaa’a fil mahiid wal taqrabuuhunna hatta yathhurna.”
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”

Yang dimaksudal mahiid dalam ayat diatas ialah waktu haid atau tempat keluarnya darah haid, yaitu farji (vagina).

Dalam hal ini Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya bahwa Nabi saw bersabda:
Lakukanlah apa saja kecuali nikah (yakni bersenggama)”

Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarif an Nawawi ad Damsyiqy dalam kitab Syarh al Muhadzdzab, juz 2 hal, 374, mengatakan: “Imam Syafi’I berpendapat bahwa orang yang telah melakukan hal itu telah berbuat dosa besar.”
  • Haram Istimna’ Atau Bersenang – Senang Di Sekitar Antara Pusar Dan Lutut

Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan senggama, seperti berciuman, berpelukan atau bersebadan pada selain daerah vagina. Dan diharamkan bagi mereka istimna’ pada daerah antara pusar dan lutut kecuali jika sang istri mengenakan kain penutup.

Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Siti Aisyah r.ah meriwayatkan :
“Pernah Nabi saw menyuruhku mengenakan kain, lalu beliau menggauliku sedang aku dalam keadaan haid.”

Tradisi Selanjutnya Ialah Nifas
Nifas, sebagaimana jumhur fuqoha’ mendefinisikannya ialah darah yang keluar dari rahim seorang wanita disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran ataupun sesudahnya yang disertai rasa sakit.

Sebagian ulama mengatakan bahwa nifas bisa berlaku jika bayi yang dilahirkan telah berbentuk manusia. Dan seandainya mengalami keguguran dan janinnya belum berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukan darah nifas, tetapi dihukumi sebagi darah penyakit. Namun, syarat atau pendapat ini tidak berlaku di kalangan Ulama Syafi’iyah.

Perihal batas minimal dan maksimal masa nifas, terjadi silang pendapat dikalanganulama. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa masa nifas paling sedikit adalah darah yang keluar hanya sesaat.dan batas maksimal masa nifas ialah 60 hari, namun biasanya nifas terjadi selama 40 hari.Sedangkan kalangan Hanafiah dan Hanabilah berpendapat bahwa masa nifas sebanyak-banyaknya 40 hari.

Menurut Syaikh Taqiyyuddin yang mewakili kalangan Malikiyah dalam risalahnya berpendapat bahwa “Nifas tidak memiliki batas minimal maupun maksimalnya. Apabila ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah darah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu adalah darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasannya 40 hari, sebab hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits.”

Berangkat dari hal tersebut diatas, boleh ditarik kesimpulan bahwa masa nifas pada umumnya 40 hari. Namun bisa juga mencapai 60 sampai 70 hari. Kendati demikian, seorang wanita harus memberi patokan perihal kapan biasanya darah nifas berhenti. Jika selama masa 40 hari darah berhenti, maka hal tersebut bisa dijadikan barometer untuk dipergunakan pada masa mendatang.

Hukum orang yang mengalami nifas tidak berbeda dengan hukum orang yang sedang haid, yaitu diharamkan baginya melaksanakan shalat dan tidak diwajibkan mengqadhanya, diharamkan juga berpuasa tetapi wajib menggantinya, diharamkan thawaf membaca al Qur’an, dan lain sebagainya. (silakan lihat sub judul wanita dan problemnya 1).

Syaikh Zainuddin Abdul Aziz al Malaibury dalam kitab Fathul Mu’in berpendapat, “Dan diharamkan sebab mengalami nifas segala sesuatu yang diharamkan kepada orang yang haid.”

Istihadhah Sebagai Tradisi Tambahan
Istihadhah adalah keluarnyadarah pada seorang wanita secara terus menerus atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan pada selain waktu haid dan nifas. Jadi setiap darah yang keluar pada tanggal diatas batas maksimal haid atau nifas (batas maksimal haid 15 hari, sedangkan nifas 60 hari menurut Ulama syafi’iyah), atau keluar sebelum melewati batas minimal haid atau sebelum mencapai umur 9 tahun (salah satu syarat terjadinya haid pada seorang wanita), maka darah itu dinamakan Istihadhah.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.ah bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada rasulullah saw : “Ya Rasulullah, sungguh aku istihadhah (tak pernah suci). Dalam riwayat lain: Aku mengalami istihadhah, maka tak pernah suci.”

Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Daud dan At Tirmidzi dari Hammah binti Jahsy berkata ketika dating kepada Nabi saw : “Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali.”

Hukum – Hukum Istihadhah
Adapun hukum istihadhah tidaklah berbeda dengan hukum Tuhr (keadaan suci). Wanita mustahadhah (yang mengalami istihadhah) tetap diwajibkan menjalankan shalat, melakukan puasa, tidak diharamkan membaca al Qur’an, dan lain sebagainya. Namun ketika hendak melaksanakan shalat, ada hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
Pertama, wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak melaksanakan shalat. Hal ini sejalur dengan apa yang diriwayatkan Imam Bukhari, bab ghasli ad dam bahwa Nabi saw bersabda kepada Fatimah binti Abi Hubaisy : “Kemudian berwudhulah setiap kali hendak shalat.”
Kedua, hendaklah membersihkan sisa-sisa darah ketika hendak berwudhu dan melekatkan kapas (softex) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah. Dan jika masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka hukumnya tidak apa-apa.

Imam Abu Daud meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda kepada Hamnah: “Gunakan kapas, karena hal itu dapat membersihkan darah.” Hamnah berkata: “Darahnya lebih banyak dari pada itu.” Nabi saw bersabda, “maka pakailah penahan.”

Dalam hadits lain Nabi saw bersabda: “Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah setiap kali hendak shalat meskipun darah menetes diatas alas.”

Dari pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwa wanita yang mengalami haid ataupun nifas, maka ia terbebas untuk melaksanakan beberapa kewajibannya. Namun hal tersebut tidak berlaku jika ia mengalami istihadhah, dalam artian ia tetap diwajibkan untuk menjalankan hal-hal yang telah diuraikan diatas. Dan jika seorang wanita telah selesai dari masa haid atau nifasnya, maka diwajibkan baginya untuk melakukan mandi dengan membersihkan seluruh badannya (perihal kaifiah atau tata cara mandi silakan baca literatur-literatur ilmu fiqh). Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Imam Bukhari bahwa Nabi saw bersabda kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: “bila kamu kedatangan haid maka tinggalkanlah shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat.”

Kendatipun zahir hadits ini tertuju bagi orang yang suci dari haid, namun Ijma’ Sahabat mengklaim bahwa nifas ialah sama seperti haid. Maka dari itu ia wajib mandi setelah selesai masanya. Wallahua’lam bisshawab.

Kenitra, 17 Februari 2009
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...