Minggu, 30 Agustus 2009

Celoteh Anak Kampus: Ujian Yang Melelahkan

Oleh: Ali Syahbana

Tepat hari Jum’at 16 Januari ujian semester putaran pertama, atau dalam istilah orang arabnya “Imtihan Niha’i – Fashlul awal” terselesaikan. Ujian yang membuat terforsirnya tenaga dan pikiran itu akhirnya sirna jua. Bagaimana tidak !! Ujian tersebut telah memaksa rentetan mahasiswa untuk tampil all out dalam menguasai, memahami dan menghapal tumpukan kitab-kitab dan beberapa muqorror (sejenis panduan materi yang berisi sedikitnya 50 halaman, yang dikreasi Ustadz sendiri) yang telah mereka pelajari sehari-hari dengan jadwal yang pasti.

Sebagai misal pada maddah (bisa dikatakan pelajaran) “ulumul hadits” dengan kitabnya “Mandzumah al Baiquniah” berikut syarahnya merupakan syarat mutlak yang di berikan Ustadz sebagai materi ujian. Jika mahasiswa (selanjutnya memakai istilah “Thulabah”) tidak hapal matan-matan kitab tersebut dan tidak mampu menguasai perihal beberapa ta’rif atau pengertian dalam literatur ilmu hadits, tak mengerti bagaimana syarat hadits shohih, perbedaan hadits masyhur, aziz dan ghorib, tindakan apa yang kita ambil jika terjadi kontroversi antar ulama dalam hal seperti ini dan itu, dan lain-lain, sulit bagi mereka untuk menjadi the winner in a hadits exam.

Tak beda dengan “ulumul hadits”, dalam maddah “ulumul qur’an” pun demikian. Thulabah dituntut untuk menguasai bagaimana kronologi nuzulul qur’an berikut hikmah-hikmahnya, Penyusunan atau penyatuan Al Qur’an era sahabat, ihwal wahyu ilahi, makky wal madany, nasikh mansukh, muhkam mutasyabih, dan sebagainya.

Dalam pada itu, pada maddah “ushul fiqh” Thulabah mau tak mau harus menguasai ta’rif dasar ushul fiqh (lughotan wa istilahan), aplikasi takhsisul ‘am, tafsilul mujmal dan lain-lain, bentuk ijtihad para sahabat yang menerapkan kaidah-kaidah yang berbau fiqh yang sedikit banyaknya telah dituturkan Syaikh Ibnu Qoyyim al Jauzi - salah satu ulama dari madzhab hambali - dalam karyanya “I’lamul Muwafiqin ‘an Rabbil ‘Alamin”.

Tuntutan untuk hafal lebih ekstra datang dari dua maddah yang bernuansa sejarah, yaitu tarikh tasyri’ dalam fiqh islam dan harkah islahiyyah. Atas nama “Road to Imtihan”, pada maddah pertama sang Ustadz membebani Thulabah agar memahami dan hapal betul biografi empat madzhab (Hanafy, Maliky, Syafi’iy dan Hanbaly) termasuk manhaj atawa metode dalam berijtihad berikut perkembangan madzhabnya, ditambah pengetahuan global madzhab-madzhab selain yang empat tersebut. Dan semua pembahasan itu tertera dalam kitab “Bulughul amany fi tarikh fiqh islamy”, tinggal bagaimana Thulabah mengemasnya menjadi khulashoh-khulasoh (rangkuman-rangkuman) cantik nan menarik sehingga mudah dipahami pun dikuasai.

Di bawah payung “Road to Imtihan” jua sang Ustadz menekankan agar Thulabah hapal sejarah tokoh-tokoh di era pembaharuan (‘ashrul hadits) seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan gerakan madrasah salafiyahnya, atau Syaikh Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman al Bana yang masyhur dengan sebutan “Imam al Bana” dengan gerakan ikhwanul musliminnya, juga disusul Syaikh Jamaluddin al Afghany, Syaikh Muhammad Abduh, dan lain sebagainya yang kesemuanya terbungkus dalam sebuah kitab “Harkah Islahiyyah Bainal Amal wal Mahadzir”

Tak berbeda dengan beberapa maddah diatas. Akidah dan Fikr Islam, dua maddah yang sedikit banyaknya memiliki korelasi dalam beberapa materi juga ikut berpartisipasi menjadi deretan beberapa maddah yang - tidak bisa tidak - harus dipahami dan dikuasai agar Thulabah sukses dalam imtihan niha’i. Disusul maddah-maddah lainnya seperti bahasa arab, taqniyyatut ta’bir dan bahasa prancis yang semuanya senada dengan ungkapan “ Hapal, Kuasai dan Pahami Jika Tidak Ingin Merugi”.

Ujian telah berlalu, namun hasil akhirnya masih menunggu waktu. Najah (sukses) tidaknya tergantung bagaimana Thulabah menanam pemahaman materi jauh-jauh sebelum ujian menghampiri. Adapun bagi mereka yang baik dalam penanaman, tentu akan menuai hasil yang baik pula. Hal ini setidaknya sejalur dengan pameo, “siapa yang menanam, pasti akan menuai hasilnya. Wallahua’lam bisshowab.

Kenitra, 19 Januari 2009.
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Indahnya Ramadhan

Oleh: Ali Syahbana*

Sungguh, rasa syukur merupakan hal yang utama yang melulu patut kita layangkan kehadirat-Nya. Bagaimana tidak? Berkat anugrah, rahmat serta inayah-Nya kita masih diberi kesempatan untuk kembali mencicipi indahnya bulan Ramadhan. Suatu bulan yang belum tentu kita temui di beberapa kesempatan berikutnya.

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa dengan beberapa rentetan keistimewaannya. Juga merupakan bulan yang agung, mulia pun penuh brkah. Pada bulan ini telah diwajibkan bagi umat islam se-antero dunia untuk berpuasa. Pada bulan ini telah dibuka pintu-pintu surga, dalam artian adanya kemudahan bagi manusia untuk meraihnya disebabkan pahala yang diobral secara besar-besaran. Pada bulan ini juga ditutup pintu-pintu neraka, dibelenggu setan-setan. Dan yang tak ketinggalan, akan kita jumpai -Insya Allah- suatu malam yang dahsyat, suatu malam yang nilainya lebih berharga dari seribu bulan, yaitu “Lailatul Qadar”. Firman Allah swt: “Lailatul qadri khairun min alfi as-syahr, tanazzalul malaaikatu wa ar-ruuhu fiiha bi idzni rabbihi min kulli amr, salaamun hiya hatta mathla’il fajr.” Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS.)

Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Ahmad, Nasa’I dan Al Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda:

“Sungguh, telah datang padamu bulan yang penuh berkah, dimana Allah mewajibkan kamu berpuasa, disaat dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu setan-setan, dan dimana dijumpai suatu malam yang lebih berharga dari seribu bulan. Maka barangsiapa yang tidak berhasil beroleh kebaikannya, sungguh tiadalah ia akan mendapatkan itu untuk selama-lamanya.”

Rasulullah saw dalam khutbahnya pada hari terakhir bulan Sya’ban telah memberikan gambaran keindahan bulan yang mulia ini. Sabda beliau:

“Bulan Ramadhan adalah bulan sabar, pahala sabar adalah surga. Bulan Ramadhan adalah bulan solidaritas (tolong-menolong), dan bulan dimana rizki orang mukmin bertambah. Barangsiapa memberi buka puasa pada bulan itu kepada yang berpuasa, maka baginya maghfirah (ampunan) bagi dosa-dosanya dan bebas dirinya dari api neraka. Ia mendapat pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa itu tanpa sedikitpun mengurangi pahala orang yang berpuasa. Para sahabat bertanya “Tidak mungkin kami semua dapat memberi makanan berbuka puasa kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah menjawab: “Allah SWT akan memberi pahala (seperti itu) kepada siapa saja yang memberi makanan berbuka puasa kepada orang yang berpuasa (meskipun) dengan sebutir kurma atau seteguk air.”

Bulan Ramadhan adalah bulan yang awalnya rahmat, pertengahannya maghfirah dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Dan barang siapa meringankan (beban) pembantu atau pegawainya di bulan tersebut maka Allah akan mengampuni dosanya dan Allah bebaskan dia dari api neraka. Dan perbanyaklah pada bulan Ramadhan ini empat perkara, (yakni) dua perkara untuk menyenangkan Tuhanmu, ialah membaca syahadat (asyhadu an laa ilaaha illallah) dan membaca istighfar (astaghfirullah). Sedang dua perkara yang justru tidak boleh tidak dari padanya, ialah memohon surga dan berlindung pada Allah dari api neraka.

Barangsiapa memberi minuman bagi orang yang berbuka berpuasa, maka Allah akan memberinya minuman dari telagaku dan ia tidak akan haus lagi setelah itu selama-lamanya.” (HR. Khuzaimah, Al Baihaqi dan Ibnu Hibban dari salman Al farisi).

Di lain kesempatan Rasulullah saw juga mensosialisasikan hal menarik lainnya dari bulan Ramadhan. Beliau menuturkan tentang bagaimana spesialnya amalan berpuasa. Suatu amalan yang berbeda dengan amalan Bani Adam pada umumnya. Dimana amalan puasa hasil akhirnya dikembalikan kepada Tuhannya, bukan untuk manusia itu sendiri sebagaimana amalan-amalan selain berpuasa. Disamping itu bahwa bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum disisi Allah swt daripada aroma minyak misik pada hari kiamat.

Dari Abu Hurairah ra, rasulullah saw bersabda: “Allah swt berfirman (setiap amalan anak Adam untuknya kecuali puasa adalah untuk-Ku dan aku akan mengganjarnya). Puasa itu adalah perisai, maka bila seseorang diantaramu berpuasa jangan berkata kotor, bersuara kasar dan berbuat jahil. Apabila ada yang mengumpatnya atau mengajak berkelahi maka hendaklah ia katakan, “aku sedang berpuasa,” sebanyak dua kali. Demi jiwa yang Muhammmad di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah swt daripada aroma minyak misik pada hari kiamat. Orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan, ketika berbuka puasa gembira dengan bukanya, dan ketika bertemu Rabbnya gembira dengan (pahala) puasanya.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i).

Selain itu, salah satu hal terindah dari bulan Ramadhan ialah tujuan dari diwajibkannya umat islam berpuasa menahan lapar dan dahaga dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari yang tidak lain “la’allakum tattaquun” (baca; QS. 2:183), terbentuknya pribadi-pribadi yang bertakwa, pribadi-pribadi yang taat akan semua bentuk perintahnya dan bersemangat dalam meninggalkan segala jenis larangannya dalam keadaan apapun. Baik pada saat berada pada posisi seorang diri maupun saat berkumpul dengan sesama makhluk Ilahi. Baik secara rahasia atau sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Bukan sebaliknya, yaitu saat berkumpul bersama kita tunjukkan seolah-olah kita makhluk yang bertakwa, akan tetapi saat sendirian tindakan kita jauh dari semestinya. Saat dalam posisi terlihat manusia (terang-terangan) kita khusyu’ dan penuh semangat beribadah, bersikap baik dan banyak menonjolkan perilaku terpuji. Namun ketika dalam posisi sirri (sembunyi-sembunyi) jangankan khusyu’, untuk beribadah (bertakwa) saja malasnya bukan main, hati kita diselimuti rasa kedengkian yang memalukan, keangkuhan yang tinggi, penuh rasa ta’ajjub (membanggakan diri sendiri) dan sifat-sifat buruk lainnya. Na’udzubillahi min dzaalik.

Sedangkan konsekuensi atau akibat dari ketakwaan itu sendiri ialah sebuah kemuliaan disisi Allah swt. Kemuliaan yang nilainya tak terhingga. Kemuliaan yang didamba-dambakan umat manusia. Sehingga dengan capaian kemuliaan itu manusia akan lebih mudah untuk menikmati indahnya kehidupan di surga kelak yang merupakan terminal terakhir kehidupan terbaik manusia. Firman Allah swt: “Inna akramakum ‘indaAllahi atqaakum.” Sesungguhnya yang termulia disisi Allah ialah ketakwaanmu, (QS. 49:13). Begitupun dengan Firman-Nya: “ wasaari’uu ila maghfiratin min rabbikum wajannatin ‘arduhassamaawaatu wal ardu, u’iddat lil muttaqiin.” Dan bersegerahlah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (QS. 3:133 ).

Semoga kesempatan berpuasa yang kita dapatkan ini bisa menjadi motivator bagi kita untuk lebih bergairah lagi dalam merengkuh hal-hal terindah yang terdapat dalam bulan yang penuh barokah ini. Dan semoga Allah juga selalu mencurahkan rahmat kasih sayangnya kepada kita dalam menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang tunduk serta patuh terdahap perintah dan larangan-Nya. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Wallahua’lambishowab.

*  Catatan Ramadhan 2009
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Sabtu, 13 Juni 2009

Masalah Merokok

Bahtsul Masail tentang Hukum Merokok
19/01/2009

Sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.

Kali ini dan di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan hukum rokok mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan selama ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi, yakni tetap menjadi kontroversi.

Kontroversi Hukum Merokok

Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.

Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai berikut:

Al-Qur'an :

وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. البقرة: 195

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik
. (Al-Baqarah: 195)

As-Sunnah :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. رواه ابن ماجه, الرقم: 2331

Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)

Bertolak dari dua nash di atas, ulama' sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.

Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.

Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.

Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.

Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:

لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ....... والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة

Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:

إن التبغ ..... فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. .... وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.

Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.

Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:

القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما

Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.


Ulasan 'Illah (reason of law)

Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.

Pertama; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.

Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama' terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh.

Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.

Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.

Keempat; kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.


KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU


Sumber; http://www.nu.or.id/
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...

Minggu, 31 Mei 2009

Fatwa Haram Facebook


Mengapresiasi Teknologi Secara Proporsional
29/05/2009

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak netral, melainkan penuh dengan muatan nilai-nilai yaitu untuk pembebasan dan penaklukan. Logika teknologi adalah ia boleh dikembangkan sejauh ia masih dimungkinkan secara teknis.

Eksperimentasi dan inovasi yang terus menarus menjadi watak dasar teknologi, sehingga apa yang bisa dikembangkan secara teknis bisa dan boleh dikembangkan sesuai dengan logika teknologi. Tetapi tidak demikian menurut pandangan etika, tidak semua yang bisa dikembangkan secara teknis boleh dikembangkan secara etis, misalnya cloning manusia, atau pembuatan senjata pemusnah massal. Memang teknologi bisa dipakai untuk berbagai keperluan, bisa digunakan untuk kebaikan dan kejahatan namun ini tidak berarti netral karena itu tidak netral.

Perkembangan teknologi informasi bergerak dalam logika ini. Karena itu, teknologi informasi berkembang menembus batas hingga masuk ke ruang paling privat. Ribut soal penggunaan facebook di kalangan agamawan belakangan ini mengingatkan pada perdebatan filosofis yang muncul sejak abad pencerahan. Kelihatannya kalangan agamawan dan ilmuwan sendiri masih gagap menghadapi kalangan ilmuwan yang cenderung apologis membela pendiriannya dan kalangan agamawan yang cenderung fanatik menentangnya.

Pada mulanya teknologi khususnya teknologi informasi dikembangkan untuk keperluan yang lebih khusus, baik yang bersifat militer atau akademis, tetpi ketika dikembangkan secara massal digunakan oleh awam tidak sebagai sarana produktif, melainkan lebih rekreatif atau bahkan sekadar mengubah penampilan dan gaya hidup. Munculnya handphone di kalangan masyarakat misalnya, seringkali hanya untuk bergaya, yang sebenarnya belum menjadi kebutuhan mendesak, dan belum menghasilkan karya secara produktif. Tetapi dengan kematangan cara berpikir mereka akan menggunakan secara lebih proporsional.

Apalagi berbagai layanan dalam teknologi ini hanya semacam tren dan akan segera disapu oleh gelombang tren yang lain. Saat ini memang sedang ramainya orang menggunakan facebook sebagai sarana komunikasi untuk memperluas pergaulan. Dalam penggunaan ini memang ada yang hanya untuk menjalin kembali teman lama yang telah kehilangan jejak. Ada pula yang melulu mencari teman baru, isinya ada yang sekadar obrolaan ada juga yang serius membincang gagasan tertentu. Tidak menutup kemungkinan facebook bisa dijadikan sarana yang lain misalnya untuk tindakan kejahatan.

Sebagaimana penggunnaan HP bisa sebagai sarana belajar, silaturrahmi dan bisnis. Tetapi dalam kenyataannya ia digunakan sebagai sarana penipuan, banyak orang yang tetipu jutaan rupiah melalui HP dengan modus menawarkan hadiah dan sebagainya. Maka di sini yang salah bukan HPnya tetapi penyalahgunaan itu yang salah, masyarakat hanya bisa menghimbau, tetapi kalau telah masuk ke dalam wilayah kriminal maka polisi yang bertindak. Demikian pula bukan facebook itu sendiri yang salah, tetapi penyalahgunaan facebook itu yang salah dan ini yang memang perlu ditertibkan.

Memang saat ini kalanagan santri di berbagai pesantren telah demikian tinggi apresiasi dan penguasaannya terhadap teknplogi informasi sehingga teknologi ini telah menjadi habit bahakan telah menjadi tradisi dalam keseharian mereka. Apresiasi ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi para kiai mereka memang selalu mendorong mereka untuk menguasai teknologi ini sebagai sarana belajar dan dakwah. Para santri itulah yang saat ini banyak sekali menggunaakan fasilitas facebook.

Bagi mereka yang telah memiliki kematangan mental dan kedewasaan moral, mereka tidak akan menyalahgunakan fasilitas yang ada. Tidak sedikit pesantren yang sengaja memberikan kebebasan santrinya untuk memilih untuk membuka situs apa saja, tetapi ternyata mereka lebih cenderung membuka situs yang berkaitan dengan kebutuhan belajar mereka, kecil sekali yang mengakses pornografi. Ini terjadi karena pendewasaan yang dilakukan sang kiai lebih diutamakan ketimbang pengekangan, sehingga mereka telah memiliki pertimbangan moral sendiri dalam memilih dan menggunakan sarana teknoplogi untuk memperoleh informasi. Ini tidak lain karena teknologi dikenal melalui pemberian apresiasi, sehingga para murid dan santri, para pemuda pada umumnya mampu menggunakan teknologi secara benar dan proporsional.
(Abdul Mun’im DZ - http://www.nu.or.id/page.php?lang=id)
»»  Bismillah Ku Lanjut Baca...